"Arghh," Vian menggeram tertahan. Tangannya terkepal erat meninju dinding belakang sekolah dengan kuat.
Ia bahkan tidak peduli lagi dengan buku tangannya yang keluar darah segar. Bahkan sampai menetes deras ketika ia membuka kepalan tangannya dan meraup kasar wajahnya.
Vian frustasi, kecewa, marah dan sakit menjadi satu. "Bodoh," gumamnya pelan.
Matanya memerah menahan amarah yang bergejolak didadanya. Wajahnya menegang dengan rahang yang mengeras.
Vian terpuruk, ia merasa semesta tengah mempermainkannya kini. Bahkan untuk membela dirinya sendiri ia tidak sanggup.
"Kenapa hah? Kenapa gue lemah. Kenapa gue gak berguna, gue gak bisa ngelawan. KENAPA???" Racaunya menjambak rambutnya.
Tubuhnya berbalik menyandar pada dinding dan merosot dengan sendiri. Vian terduduk dengan wajah yang ia sembunyikan di antara kedua lututnya.
Bayangan ketika pertunangan berlangsung makin menyakiti hatinya. Sungguh, ini sangat menyiksa pikirannya akhir-akhir ini.
Jujur, ia bahkan jijik mengingat bagaimana bibirnya harus mencium bibir perempuan itu. Dan ia kecewa, ketika first kissnya harus direnggut oleh perempuan seperti Vioni.
Bulir bening melolos begitu saja. Ya, Vian menangis. Ia merasa kalah, ia kalut. Sungguh, pikirannya benar-benar kacau. Kini ia tidak bisa berpikir dengan jernih.
Tangannya terkepal erat balik lagi meninju dinding, meluapkan amarahnya. Melampiaskan emosi yang telah tertahan.
Tangannya sakit, sama sekali tidak seberapa dengan rasa sakit dibatinnya. Sungguh, ia seperti mati rasa.
Kenapa papa egois? Kapan papa akan berubah, rasanya sakit pa. Sakit sekali, Vian rindu papa yang dulu. Mana kebahagiaan yang dulu pernah tercipta? Ucapnya membatin.
Ditatapnya tangan yang penuh darah, Vian sadar. Bahkan sangat sadar, bukan seperti cara mengatasi masalah. Dia tahu, dia terlalu brengsek memilih jalan pasrah dan menggunakan kekerasan pada diri sendiri untuk pelarian.
Vian memejamkan matanya. Mengepal kembali jari jemari yang penuh darah kental. Meresapi rasa perih yang bercampur perih.
Bau amis terasa begitu menyeruak dalam hidungnya. Rasanya ia sudah tidak berguna lagi untuk hidup.
Buat apa ia hidup, jika harus berpura-pura. Memasang topeng di balik wajah yang sebenarnya. Sampai kapan ia harus begini. Sungguh, ia tak akan kuat.
Namun, ia juga manusia. Dia juga bisa lelah dan kalah. Roda kehidupan selalu berputar, tidak ada yang tahu bagaimana takdir membawanya.
Mungkin, dia selama ini terlihat baik-baik saja. Dan bertingkah biasa saja seolah hidupnya berjalan dengan damai. Namun, itu hanyalah pandangan semata. Tidak ada yang tahu bagaimana kerasnya ia menjalani kehidupan.
Bagaimana langkahnya berjuang untuk bisa tegar sampai sekarang. Kini, ia menyerah. Membiarkan semua berjalan dengan semestinya. Mencoba berdamai dengan semesta.
Matanya perlahan terbuka mendapati sebuah sentuhan lembut di tangannya. Ia tercekat, sungguh. Lidahnya terasa kelu untuk sekedar mengucap satu kata.
Ditatapnya dalam-dalam wajah yang begitu menenangkan hatinya. Wajah yang selalu dirindukannya, senyuman tulus yang mampu menjadi candu baginya.
Alleta tersenyum menatap Vian. "Jangan nyakitin diri sendiri. Lo masih punya gue buat cerita, meski gue gak tahu bisa bantu atau enggak. Setidaknya, lo gak perlu bikin tubuh lo menderita kayak gini," ucapnya lembut.
Tangannya dengan pelan mengusap darah di jemari Vian. Mengoleskan obat merah. Lalu membalutnya dengan hati-hati.
Vian masih terdiam menatap Alleta yang begitu tenang mengobati lukanya. Perasaannya perlahan berangsur membaik, amarahnya juga sedikit demi sedikit bisa ia kuasai.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADELEINE (End)✓
Teen FictionAlleta Nadeleine, gadis cantik yang harus pindah sekolah karena mengikuti papanya yang bekerja. Namun, siapa sangka di sekolah barunya ini membawanya untuk mendapatkan arti kehidupan yang tiada terkira. Berawal dari kekagumannya dengan sosok Davin...