Hampir dua jam Alleta berada di ruangan yang baginya mirip penjara. Bagaimana tidak, selesai test Reina dengan santainya mengajak Davin mengobrol dengan dalih berbicara tentang pelajaran.
"Ini AC mati apa ya? Gerah banget sumpah!" Gumam Alleta mengipasi tubuhnya dengan buku yang dipegangnya. Yang gerah sebenarnya sih hatinya, bukan tubuhnya.
Gelak tawa keduanya makin terdengar asik, ingin rasanya Alleta melabrak keduanya. Tapi apa daya, dia tidak punya status apa-apa kan.
"Pepet aja terus, kalo perlu sekalian aja dikarungin bawa pulang." Dumelnya tanpa sadar menendang kasar bangku didepannya masih dengan buku sebagai kipasnya.
"Kenapa? Gerah ya?"
Mendengar suara tersebut, hampir saja Alleta tersedak ludahnya sendiri. Kepalanya mendongak, menatap seseorang yang baru saja bersuara. Mampus, orangnya dateng.
"Daritadi gue perhatiin gelisah terus." Tanya Davin duduk di bangku depan dan menghadap Alleta.
Alleta tidak menjawab pertanyaan Davin, namun memilih mengalihkan pandangan mencari sosok Reina yang tiba-tiba saja menghilang dari kelas.
"Nyari Reina?"
Alleta terhenti, sesaat ia melirik Davin dengan sinisnya. "Kenapa gak diajak pacarnya. Gue gak mau ya di cap pelakor." Ucapnya tak santai.
"Tenang aja, dia gak cemburuan kok. Orangnya baik, terus pengertian." Jawab Davin tersenyum kecil.
"Oh, terus menurut lo gue peduli gitu? Enggak. Sama sekali gak penting sama gue." Sarkasnya benar-benar kesal.
"Kalo cemburu itu ngomong, jangan di pendam sendiri. Nanti sakit sendiri." Tutur Davin lembut.
Alleta tercekat, merasa kikuk saat itu juga. "Sok tau," jawabnya berusaha mempertahankan image-nya. Padahal aslinya mah bener, malu dong kalo jujur.
Davin mengangguk, sambil menahan senyumnya. "Gue tahu kalo lo bakalan cemburu liat gue dekat sama Reina. Cuman satu yang harus lo tahu, gue sama sekali enggak ada perasaan apapun sama dia. Kita sebatas teman, dan mungkin karena kita sering lomba bareng. Kedekatan kita jadi kesalahpahaman bagi orang." Tutur Davin panjang lebar.
Alleta melirik Davin dari ujung matanya, mencoba melihat kebohongan dalam diri Davin. Bisa saja dia melakukan hal itu untuk membuatnya baper. Hell, lelaki tidak cukup dengan satu wanita.
"Terus ngapain kesini? Mau ngebaperin gue? Sorry ga ngaruh!" Jawabnya ketus.
Davin tergelak, "Siapa yang mau main baper-baperan. Gue kesini karena gue peduli sama lo. Kalau enggak, jangan harap sekarang gue ada disini."
Tuhkan mulai lagi, tolong. Siapapun yang melihatnya, ingatkan Letta untuk tetap sadar. Alleta menggangguk, "Fine." Jawabnya datar.
"Oh iya, sesuai janji gue. Kalo lo lulus seleksi, kita bisa belajar bareng. Biar lo enggak cemburu sama Reina." Ujar Davin menatapnya dalam-dalam.
Oh God, ini Davin maksudnya gimana sih? Seneng banget ngasih harapan ke gue. Ya kalo lulus, kalo enggak? Jerit Alleta dalam hati.
Alleta berdehem pelan, mencoba mengatur suaranya yang tiba-tiba saja mendadak susah dikeluarkan. "Ehm. Oke. Kita lihat aja nanti."
Setelah mengucapkan hal tersebut Davin beranjak begitu saja tanpa bertanya hal lain lagi. Jadi sekarang gimana? Digantungin lagi kan akhirnya.
***
Suasana dalam ruangan kembali tenang. Berbeda jauh dengan jantung Alleta yang mendadak deg-degan. Serasa mau copot woy. Ini adalah detik-detik terakhir penentuan lolos enggaknya dia ikut olimpiade matematika.
KAMU SEDANG MEMBACA
NADELEINE (End)✓
Teen FictionAlleta Nadeleine, gadis cantik yang harus pindah sekolah karena mengikuti papanya yang bekerja. Namun, siapa sangka di sekolah barunya ini membawanya untuk mendapatkan arti kehidupan yang tiada terkira. Berawal dari kekagumannya dengan sosok Davin...
