ND Part - 49

2.4K 188 62
                                    

Davin segera menyusul Alleta kerumah sakit ketika tahu bahwa Alleta pergi kesana untuk menjenguk Vian. Hatinya sudah berdetak lebih kencang dari biasanya, tangan Davin pun ikut berkeringat dingin.

Davin gugup, ia bingung akan berbicara apa pada Alleta nanti jika tahu bahwa Vian sudah tidak ada disana lagi. Davin mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Bahkan berulang kali mengklakson untuk menyalip beberapa kendaraan didepannya.

Sesampainya di rumah sakit, Davin berlari menuju ruang VVIP mencari keberadaan Alleta. Matanya membelalak kala tak melihat keberadaan Alleta disana.

Tak ingin menyerah, Davin kembali menelusuri tempat lain. Keringat di pelipisnya mulai mengalir. Ia merasa gerah karena harus berlarian mencari Alleta.

Senyumnya sedikit mengembang kala melihat Alleta sedang duduk disalah satu kursi kantin rumah sakit. Setelah menyeka keringatnya, Davin berjalan menghampiri Alleta.

Alleta yang tengah melamun sepertinya tidak menyadari kedatangan seseorang. Davin menepuk pelan pundak Alleta hingga membuatnya tersentak kaget.

"Vin,"

Davin tersenyum, ia mengerti bagaimana keadaan Alleta sekarang. Dilihatnya begitu sayu wajah Alleta. Jika biasanya dia akan tersenyum, kali ini hanya wajah kebingungan yang bisa Letta perlihatkan.

"Kenapa masih disini?" Tanya Davin ikut duduk di bangku sebelah Alleta.

Wajah Alleta memanas. Akhir-akhir ini, ucapan nama Vian terlalu sensitif bagi hatinya. Hingga membuatnya ingin terus menangis. "Vian gak ada di kamarnya," ucapnya parau menatap Davin sendu dengan mati-matian menahan air matanya.

Inilah yang Davin takutkan, Alleta tahu jika Vian sudah tidak ada dikamarnya. Mungkin memang lebih baik ia beritahukan sekarang, daripada nanti Alleta akan mencari tahu kebenaran dengan sendirinya.

Davin tidak akan sanggup melihat Alleta yang menderita. Davin yakin, Alleta perempuan yang kuat. Dia pasti bisa menerima alasan yang akan dia ucapkan. Meski sulit, perlahan Alleta pasti paham.

Davin duduk mendekat, diraihnya jemari mungil Alleta. Digenggamnya erat tangan tersebut. Ditatapnya dalam-dalam wajah Alleta, dimana terpancar raut kesedihan dan kesakitan yang bisa Davin lihat.

Beruntung kantin sedang tidak banyak orang. Dan tempat duduk Alleta berada di dekat jendela dan sedikit jauh dari keberadaan orang yang lain. Sehingga Davin bisa leluasa untuk berbicara dengan Alleta.

"Al, kamu pengen tahu siapa yang udah donorin mata kamu?" Tanya Davin perlahan membuka suara.

Alleta mengangguk pelan.

Davi tersenyum kecil, "Dia adalah Vioni."

Mata Alleta membulat, ia terkejut. Bagaimana mungkin Vioni. Padahal setahu Alleta untuk donor mata di Indonesia jika orang tersebut masih hidup, itu tidak diperbolehkan.

"Dia?" Ucapan Alleta menggantung.

"Iya Vioni. Kamu ingat, waktu dulu aku nemenin kamu dirumah sewaktu orangtua kamu ada urusan mendadak di kantor?"

Alleta mengangguk lagi dan tetap terdiam menunggu kelanjutan ucapan Davin. "Jadi, setelah aku pulang dari rumah kamu. Aku sempat mampir ke rumah sakit untuk menjenguk Vian. Berita baik, dia waktu itu sudah sadar. Aku sempat berbicara sama Vian. Dia bertanya tentang keadaan kamu, ketika tahu bahwa kamu harus kehilangan penglihatanmu---"

"Jadi Vian udah sempat bangun," ujar Alleta memotong ucapan Davin.

Davin mengangguk pelan, "Iya, waktu itu kita bicara cuma tentang kamu. Vian begitu sedih dia memikirkan cara bagaimana agar kamu bisa melihat lagi. Ia merasa bersalah karena telah membuatmu kehilangan penglihatan. Akhirnya, dia dia kasih saran. Awalnya aku juga gak terima sama usulan dia. Tapi, dia bilang dia gak punya pilihan lain. Selain itu juga sebagai bentuk pertanggungjawabannya pada kamu."

NADELEINE (End)✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang