"S-sori, gue tadi main nyosor aja." Riski melepaskan tangannya dari pundak Afni. Cowok itu menggaruk belakang lehernya beberapa kali, mengerdarkan pandangan, kikuk sendiri. Afni juga menunduk, tak mau bersitatap dengan Riski, seketika suasana menjadi canggung.
Pandangan Riski tanpa sengaja tertuju pada tangan Afni yang terluka, cowok itu baru sadar pada tangan Afni. Tadi ia terlalu fokus dengan euphoria kebahagian bertemu dengan Afni. Tangan Riski terulur menarik lembut tangan Afni, membuat sang empu mendongak, mengerjap. "Tangan lo kenapa? Pasti ini karena Dafa! Sialan emang dia itu."
Afni menarik tangannya, menyembunyikannya di belakang badan, tersenyum kikuk, sejenak mengedarkan pandangan. "Nggak papa, Kak. Eng, Afni nggak bisa bikin minum, Kak Riski duduk di teras aja, ya. Nanti kalau di dalem, Kak Dafa marah."
Riski mengernyitkan dahi, memerhatikan gelagat Afni. Kemudian menghela napas, mengangguk lalu duduk di kursi kayu. Menunggu Afni yang kembali ke dalam kos. Cowok itu mengusap wajahnya kasar, meski dirinya sudah menyatakan cinta pada Afni, tapi gadis itu tak memberikan reaksi apapun.
Brak!
Cowok itu menoleh ke arah pintu kala mendengar suara barang terjatuh, disusul ringisan kecil. Secepat kilat dirinya langsung berlari ke sumber suara, berdecak kala menemukan kursi kayu tergeletak di lantai dengan posisi terjungkir, sedangkan Afni berdiri sambil mengibaskan tangan kirinya. "Aelah, kenapa ngangkat kursi sendiri, tangan lo 'kan lagi sakit. Kalau butuh bantuan kenapa nggak bilang gue, sini biar gue bawa."
Afni meringis tertawa kecil lalu mengikuti langkah Riski yang membawa kursi belajar Dafa. Di depan hanya ada satu kursi. Jadi ia berniat membawa kursi dari kamar, tapi ternyata tak mudah mengangkat kursi dengan tangan kiri. Alhasil, sebelum sampai tujuan tangannya sudah perih. Memang kursi yang terbuat dari kayu jati akan berat.
"M–makasih, Kak," ujar Afni sambil duduk bersebelahan dengan Riski. Gadis itu mengedarkan pandangan. Seorang ibu-ibu tetangga yang kemarin menolongnya sedang menyapu di depan rumah, gadis itu mengangguk sambil tersenyum kecil saat pandangannya bertemu dengan ibu-ibu paruh baya itu, dibalas anggukan dan senyuman ramah pula.
Lingkungan kos di sini ramah dan saling peduli, tak seperti lingkungan di sekitar kos Riski yang pagi-pagi sudah ramai orang bergosip sambil membeli sayur. Di tempat Afni tinggal ini, memang tak banyak orang jika di siang hari, sebab orang-orang akan sibuk kerja. Untuk penghuni kos asli, memang belum banyak, sebab kos ini masih baru, pintu yang sudah terisi baru tiga.
"Kenapa lo mau-mau aja dibawa pergi sama Dafa. Gimana sama abang lo? Lo nggak khawatir sama dia?" Pertanyaan Riski membuat Afni mengerjap, menoleh lalu kembali menatap lurus ke depan.
Tatapan Afni menerawang, membayangkan Azril yang mengkhawatirkan dirinya di tengah-tengah acara perkuliahan. Beberapa saat lalu Azril menghubunginya, cowok itu sedang di luar kota, di area perdesaan. Azril tak berhenti menanyakan keadaannya, Afni tak menyangka abangnya sesayang itu padanya.
Riski masih menunggu jawaban Afni, cowok itu mengibaskan tangannya di depan muka Afni, menyadarkan Afni dari lamunan. "Bang Azril udah tau, kok. Kak Riski nggak usah khawatir."
"Bukannya gue terlalu lebay ngehawatirin lo kaya gini, tapi gue cuma nggak mau lo terluka terus. Lihat. Tangan aja udah kaya gitu, kalau lo mau pergi dari Dafa. Gue siap bantuin," ucap Riski sambil menatap lekat Afni, meski gadis itu tak menoleh ke arahnya.
Afni mengusap wajahnya tersenyum dibuat-buat lalu menoleh ke arah Riski. "Putri gimana kabarnya, Kak? Oh, iya, hari ini 'kan, Kamis. Putri pasti lagi terapi, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Menikah Dengan Tetangga✔️
Ficção AdolescenteIni tentang kehidupan pernikahan kejam antara Dafa dan Afni di umur mereka yang sama mudanya. Berawal dari mengantarkan jas, akhirnya Afni menjadi istri dari seorang Dafa. Bagaimana bisa? Padahal, Dafa esok hari harus menikah dengan kekasihnya. Se...