"Kak Riski nggak usah khawatir. Ini ada makanan di sini." Afni berteriak dari balik pintu, sekarang merasa dirinya sedang dipenjara. Arki benar-benar tak mau dibantah, sekarang bagaimana jika ia kebelet ke kamar mandi. Apakah harus mengeluarkannya di kamar juga?!
Riski menendang pintu sekali lagi sambil menghela napas, meski Afni sudah menyuruhnya untuk tak khawatir. Namun, dirinya masih dilanda kepanikan. "Apa perlu gue dobrak aja ni pintu! Lo beneran nggak papa, 'kan?"
Afni menggelengkan kepala, kedua tangannya ia kibaskan meski Riski tak bisa melihatnya. "Nggak usah, Kak. Afni beneran nggak papa."
Riski terpikirkan sesuatu cowok itu turun dengan cepat. Setelah sampai di kamarnya ia mengambil buku tulis, menuliskan deretan nomor ponselnya. Menyobek kertasnya lalu membawanya kembali ke lantai atas.
Riski menyelipkan kertas itu melalu celah pintu. "Lihat bawah, ada nomor gue. Simpen ya, nanti kalau lo butuh sesuatu biar gue dobrak paksa aja pintunya.
Sementara itu di dalam Afni menunduk, berjongkok mengambil kertas yang dibicarakan oleh Riski. Mengambilnya lalu mengucapkan terima kasih kepada Riski. Namun, cowok itu tak memberikan tanggapan, mungkin sudah berlalu dari lantai atas.
Afni memilih sarapan, ternyata Dafa membelikan rujak cingur. Salah satu makanan kesukaan Afni ketika masih kecil, tak pakai sayuran. Ternyata Dafa masih mengingat apa yang disukai Afni.
Setelah selesai makan Afni mulai merasa bosan, ia menjemur handuk Dafa di balkon, lalu kembali di dalam dengan lemas. Pandangannya tertuju pada rak buku yang tersusun rapih berdasarkan ketebalannya. Ada rasa ingin membacanya, tapi Afni mengurungkan niat. Terakhir kali ia mengambil barang Dafa ia berakhir di balkon.
"Oh, iya. Nomornya Kak Riski," gumam Afni sambil berjalan ke arah lemari pakaian, mengambil ponselnya. Ternyata baterainya sudah habis. Gadis itu celingukan mencari colokan. Ketika sudah menemukannya ia mengecas ponselnya menghidupkan dan memasukkan nomor Riski.
Afni menghidupkan paket datanya, mengecek aplikasi berbalas pesan. Ternyata muncul beberapa chat dan panggilan tak terjawab dari abangnya. Gadis itu menepuk jidat, kemarin ia lupa menghubungi kembali abangnya.
Merapikan rambutnya, Afni memutuskan untuk menghubungi abangnya melalui panggilan video. Tak butuh waktu lama abangnya menjawab panggilannya.
Wajah abangnya yang ia rindukan membuat Afni berkaca-kaca. Azril---abang Afni tersenyum, mendekatkan mukanya ke layar, lalu kembali menegakkan badan. "Adek abang makin cantik aja."
"Abang, Afni kangen. Afni butuh Abang." Afni tak kuasa menahan air matanya, gadis itu mengalihkan kamera dari wajahnya. Tindakan yang salah sebab yang tertangkap di kamera justru ranjang Dafa.
Di seberang sana Azril mendekatkan wajahnya pada layar, memerhatikan keadaan kamar yang tak familiar. Lagipula jam segini seharusnya Afni di sekolah, bukan di kamar. Azril mulai merasakan keganjilan. "Lo di mana, Ni. Lo nggak sekolah?"
Tersadar jika baru saja melakukan kesalahan, dengan cepat Afni mengalihkan kamera ke arah mukanya, mengusap wajahnya menghilangkan air mata yang membasahi pipi. "E–nggak, Bang. Eng, Afni lagi nginep di rumah temen."
Azril tetap diam, memerhatikan gelagat adiknya yang panik. Menghela napas akhirnya cowok itu berkata, "Lo nggak bohong sama abang, 'kan? Nggak usah nangis, kalau liburan semester pasti abang pulang. Lagian, jarang banget sampai nangis kaya gini. Lo nangis karena kangen sama abang, apa karena hal lain?"
"Nggak, kok Bang. Afni nggak bohong, Afni cuma kangen sama Abang. Afni juga lagi pusing mikirin tugas sekolah, hehe." Afni kembali mengusap air mata. Tertawa garing, mengucapkan kata maaf dalam hati untuk abangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terpaksa Menikah Dengan Tetangga✔️
Fiksi RemajaIni tentang kehidupan pernikahan kejam antara Dafa dan Afni di umur mereka yang sama mudanya. Berawal dari mengantarkan jas, akhirnya Afni menjadi istri dari seorang Dafa. Bagaimana bisa? Padahal, Dafa esok hari harus menikah dengan kekasihnya. Se...