Bab 1

34.3K 260 1
                                    

Jika ada orang yang bilang semua mahluk di ciptakan dengan hak yang sama. Menurut ku itu semua bohong, aku tidak memiliki hak itu semua, keluarga ku meninggal kan ku dengan cara yang tragis. Dan aku sendiri disini, bersama sepi dan kegelapan yang menemani.

Jika aku ingin meminta hak ku pada sang Pencipta, apakah sang pecipta mengabulkan semua hak hak aku yang hidup bahagia bersama keluarga nya seperti kebanyakan manusia di luar sana.

Aku masih 17 tahun masih butuh bimbingan kedua orang tua, tapi kenapa kalian mengambil orang tua ku dengan cara yang tragis.

******

Dikta yang baru saja mendapatkan juara 1 di kelas nya, dan rencana nya ingin memberi tau pencapain luar biasa yang ia dapatkan selama satu tahun ia sekolah di SMA ini pun kepada kedua orang tua nya. Harus sirna dengan duka.

Pulang kerumah dengan buru buru ingin menyampai kan kabar gembira, namun kabar duka yang ia dapatkan.

Ia tak berfikir tentang orang tua nya yang akan meninggal, karena sewaktu ia berangkat sekolah mereka masih makan bareng di meja yang sama.

Tatapan aneh tertuju di sebuah gang rumah nya, melihat bendera kuning tertancam di samping gang. Dikta tak berfikir akan kedua orang tua nya yang meninggal mungkin tetangga samping rumah nya. Karena ada salah satu tetangga nya yang memiliki usia hampir 1 abad.

Ketika Dikta ingin masuk gang rumah nya ia bertemu dengan Lek Joo dan bertanya siapa yang meninggal.

" Lek siapa yang ninggal " Tanya Dikta.

Lek Joo terdiam beberapa menit wajah nya sangat sedih.

" Lek ngapa Lek " Tanya sekali lagi Dikta dengan rasa cemas yang mulai timbul.

" Bapak mu Ta sama ibu mu "

Mendengar kalimat dan jawaban Dikta tak percaya sedikit pun.

" Gak mungkin lek, mereka masih sehat. Gak mungkin mereka meninggal lek gak mungkin " Dikta menggelang geleng kan kepala tanda tak percaya.

Tubuh lek Joo seakan bergetar mendengar kabar mengejutkan ini secara tiba tiba. Sahabat nya sekaligus rekan kerja nya harus di panggil sang pecipta begitu saja tampa kabar terlebih dahulu.

Dikta berlari kearah rumah nya memastikan yang dikatakan Lek Joo itu salah. Dan ternyata ketika Dikta sudah sampai di halaman rumah nya perkataan Lek Joo benar ada nya.

Nafas yang memburu ia keluarkan, tangis pun pecah. Ketika Dikta membuka kain putih yang menyelimuti wajah kedua orang tua nya.

" Bapak Ibu kenapa kalian ninggalin Dikta, dimana janji janji kalian dulu. Ketika kalian bilang mau ngeliat Dikta menjadi orang sukses, menjadi orang berada, menjadi orang di pandang oleh semua orang. Pak, Buk bangun " Ucap Dikta dengan suara nya yang bergetar.

Ia berusaha membangunkan kedua orang tua nya kembali, menggoyangkan goyang kan dan memanggil manggil nya. Namun, itu tampa sia sia.

Sampai, kedua orang tua nya ingin di bawa keliang lahat untuk di makam kan.

Setelah selesai, dimakam kan Dikta masih duduk di antara makam kedua orang tua nya. Mengusap nisan dan ia terus menangis. Sampai matahari meredupkan sinar nya.

Lek Joo datang untuk menjemput Dikta untuk kembali pulang, namun Dikta menolak dan tetap disini, di makam kedua orang tua nya. Sambil berharap kedua orang tua nya bangkit kembali dari kubur.

Lek Joo terus menguatkan dan membujuk Dikta untuk pulang, Akhirnya Dikta patuh dan menuruti nya.

*****

Tiga hari berselang Dikta tetap lah sama masih berkabut dengan duka, seakan tak mengerti kondisi nya. Keluarga besar ibunya berdebat siapa yang akan mengurus dan menghidupi Dikta.

Semua nya menolak dan pada akhirnya datang lah Tirta Sanjaya dan juga Nesya Amelia. Keluarga dari sang ayah.

" Biar saya yang ngurus Dikta " Ucap Tirta dengan suara berat nya, di depan pintu rumah Dikta.

Semua mata langsung tertuju pada orang yang berbicara di depan pintu, orang berjas dengan wanita berpakaian sopan namun masih terlihat sangat seksi itu.

" Anda siapa? " Tanya Baron paman Dikta.

" Saya adik dari Tirto sanjaya, saya bermaksud datang kesini untuk mendatangi rumah duka kakak saya. Dan jika kalian tak berniat mengerus anak kakak saya. Biar saya mengurus nya " Jelas Tirta.

" Bagus lah " Cetus Baron

Memang keluarga dari sang Ibu tak mengharapkan Dikta untuk di urus mereka, karena alasan adalah mereka tak mampu dan himpitan ekonomi yang mereka alami cukup lah rendah. Dan menyebut Dikta sebagai beban keluarga.

Dikta Narendra Sanjaya pun tak memiliki pilihan lain ia harus ikut dengan Tirta Sanjaya kerena ia berada disini tak di harap kan lagi.

Dikta yang baru datang lalu kaget melihat Tirta dengan Istrinya. Karena sudah lama mereka tak bertemu hampir 10 ketika Dikta masih berusia 7 tahun.

" Maaf Dikta om telat, om baru tau kalo bapak kamu meninggal "

" Iya om gak papa "

Tirta tersenyum dan sedikit sedih melihat keponakan tak di harap kan oleh keluarga besar kakak iparnya.

" Kamu ikut sama om ya, tinggal sama om sama tante "

Tirta sambil menepuk bahu Dikta untuk menguatkan.

" Ia om " Ucap singkat Dikta.

Dikta tau dan merasa keluarga besar dari ibunya tak mengharapkan nya lagi ia berada disini.

Dikta pun membereskan semua barang barang yang ada di rumah nya yang akan ia bawa ke dalam rumah Tirta nanti nya.

" Mas kamu yang kuat, aku liat anak itu sangat lah sedih dan terpukul. Kamu sedih kamu sebagai Om nya harus menguatkan dia " Ucap Nesya mencoba menguatkan suami nya, ia pun tersenyum tipis.

Tirta hanya bisa menahan tangis nyla, bathin nya pun ikut merasakan kesedihan yang masih di alami Dikta. Anak yang masih butuh bimbingan kedua orang tua nya, harus kehilangan orang tua nya dengan cara yang tragis.

Next

DIKTA ( Sang Pengisi Sepi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang