it's been five days

95 18 0
                                    

Tidak pernah sekalipun Doyoung pernah membayangkan bagaimana rasanya kehilangan orang yang benar-benar berarti untuk hidupnya. Pernikahannya hanya tinggal menghitung beberapa minggu dengan persiapan sudah hampir sempurna. Namun bukannya merasakan kebahagiaan menjelang pernikahan, Doyoung malah kehilangan calon istrinya sendiri.

"Doy?"

Doyoung menatap makanan di piringnya tidak tertarik. Sendok di tangannya beputar pelan, belum sama sekali menyentuh makanan. Otaknya terus bekerja, mencari celah yang mungkin terlewat untuk diperiksa, manatahu ada jejak Mallory yang sebenarnya tertinggal dan belum ia temukan.

"Doy??"

Namun, sekeras apapun Doyoung berusaha untuk mencari, ia tidak dapat menemukan titik terang. Ia tidak tahu bagian mana yang terlewat dari pengawasannya bersama Jeffrey, Mark dan ayah Mallory sampai-sampai mereka tidak menemukan apapun selama lima hari belakangan.

"Doyoung."

Doyoung mengerjapkan matanya. Kepalanya mendongak, melihat sepasang mata milik Taeyong yang menatapnya khawatir. "Sorry. Kenapa?" Tanya Doyoung.

Taeyong menghela napas. "Lo butuh istirahat."

"Engga, Yong."

"Doy, ga usah dipaksain masuk kantor gini lah, toh fokus lo juga udah kebagi jadi dua." Ujar Taeyong.

"Engga bisa, Yong."

Taeyong lagi-lagi menghela napas. "Percuma lo ngantor juga, kerjaan lo berantakan. Kita fokus cari Mallory dulu sampai ketemu, baru lo ngantor lagi." Saran Taeyong.

Sebagai seorang sahabat, Taeyong tentu menjadi tempat Doyoung bersandar beberapa hari ini. Ia sendiri juga kaget bukan main saat Doyoung memberinya kabar bahwa Mallory hilang bak ditelan bumi. Taeyong tidak bisa membantu banyak. Ayah Mallory dan Mark sebagai pemilik perusahaan sudah berbuat sangat banyak mengingat mereka mempunyai harta dan tahta, kekuatan Taeyong tidak terlalu dibutuhkan untuk mencari Mallory. Namun setidaknya, Taeyong bisa membantu Doyoung. Misalnya, mengingatkan Doyoung untuk selalu makan tepat waktu seperti saat ini.

Keduanya sedang duduk di meja paling pojok restoran di dekat kantor. Untuk dapat sampai di meja ini, Taeyong butuh membujuk Doyoung selama 10 menit di ruangannya, bahkan sampai menarik paksa Doyoung untuk tetap pergi makan siang. Walaupun pada akhirnya Doyoung tidak menyentuh makanannya sama sekali.

"Gue harus tetep kerja, ga enak sama orang perusahaan. Ga etis, gue calonnya yang punya perusahaan, tapi kerja aja males-malesan." Sahut Doyoung pelan.

"Lo bukan males, Doyoung. Lo istirahat. Lo nyari calon istri lo yang hilang. Bisa lihat perbedaannya ga, sih?" Omel Taeyong.

Dengan polos, Doyoung menggeleng sebagai respons.

Taeyong menghela napas untuk kesekian kalinya. Ia tidak mau menambah beban Doyoung dengan memarahinya, tapi di sisi lain Doyoung rasanya memang butuh amarah Taeyong agar lebih peduli dengan dirinya sendiri.

"Seenggaknya habisin makan siang lo, deh. Dimana pun Mallory sekarang, dia pasti ga akan suka lo lewatin makan kayak gini."

Doyoung terdiam sejenak, ia hanya menatap mata Taeyong dengan tatapan yang Taeyong sendiri tidak bisa artikan. Tak lama kemudian, Doyoung mengangguk sambil menghela napas. Sendok ia ia putar di tangannya sedari tadi kini berhenti, lalu mendarat di piring dan menyentuh makan siang Doyoung.

Senyum tipis tercetak di bibir Taeyong saat melihat sahabatnya akhirnya menyuap satu sendok makanan. Taeyong benar-benar tidak tega melihat Doyoung seperti kehilangan jiwanya lima hari belakangan. Menurutnya, kondisi Doyoung saat ini lebih parah dibanding dahulu, saat Doyoung bermasalah dengan Hyunki dan Dabin. Dahulu, Doyoung masih punya Mallory yang bisa ia jadikan alasannya berjuang. Namun sekarang?

mallory [kim doyoung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang