•°Espère;47°•

52 5 0
                                    

•°LavenderWriters Project°•
•°Espère © Kelompok 3°•
•°Part 47 By: ByunManuRa°•
•°Selasa, 29 Desember 2020°•



💜Happy Reading💜

Setelah dua bulan di rumah sakit, Fery akhirnya pun tersadar dari komanya.

Pertama kali yang Fery lihat dari membuka matanya adalah setitik cahaya kecil yang perlahan-lahan masuk ke retina matanya. Fery mengedip-kedipkan kedua matanya dengan pelan. Ia berusaha memfokuskan cahaya itu.

Perlahan, Fery bisa menyesuaikan cahaya yang masuk ke matanya. Entah kenapa, yang Fery rasakan saat ini adalah rasa bersalah. Rasa bersalahnya pada Vio.

Ceklek!

Vio yang membawa sebuah sekantung roti pun tidak sadar jikalau Fery tengah menatap dirinya yang menutup pintu.

Vio pun berbalik dengan wajah terkejut, "p-papah? Udah sadar? Ada yang sakit gak, pah?" terburu-buru Vio berjalan mendekati ranjang Fery.

Fery masih menatap wajah penuh kekhawatiran milik Vio, anaknya. Ragu-ragu, Fery berujar sesuatu yang membuat Vio tengah menyimpan sekantung roti tadi di laci rumah sakit pun berhenti kaku, "papah minta maaf, Vi. Kamu mau kan pulang ke rumah?"

Hening.

Tubuh Vio kaku. Kantung plastik yang berada dalam genggaman tangan Vio ia remas, "aku ada rumah, pah."

Fery meneliti wajah Vio dari samping, "bukan. Maksud papah pulang ke rumah kita yang dulu," mendengar kata 'dulu' langsung membuat Vio menatap sedih wajah Fery.

"Dulu? Dulu dari mana, Pah? Sejak Papah nikah lagi, bagi aku itu bukan lagi rumah aku sama Kak Arsya! Itu cuma rumah Papah dan keluarga baru Papah!" berusaha semaksimal mungkin Vio tahan emosinya, namun akhirnya keluar juga.

"It's okay, kalau waktu itu Papah nikah lagi. Tapi, perhatian Papah yang tadinya buat aku dan Kak Arsya itu udah beda. Tau gak, Pah? ... karena Papah cuma berusaha nyenengin anak dari istri Papah yang sekarang tanpa kasih perhatian ke aku dan Kak Arsya,"

Fery diam ingin mendengarkan semua keluhan Vio. "... Papah cuma kasih uang, uang, dan uang buat aku sama Kak Arsya. Kita itu gak butuh itu, Pah!" lanjut Vio dengan menggelengkan kepalanya keras sambil menatap manik mata Fery dengan air mata yang perlahan menetes akibat luapan emosi serta unek-unek nya selama ini.

Tes.

Mendapati dirinya lemah seperti ini, Vio membuang wajahnya menghindari tatapan teduh Fery. Ia menghapus air mata nya kasar, "aku mau pulang. Nanti Kak Arsya kesini."

Mendengar kata 'pulang' dari bibir Vio, Fery tersenyum lebar, "kam--" Vio langsung memotong ucapan Fery, "pulang ke rumah aku. Bukan rumah Papah," senyum bahagia Fery luntur seketika.

"Tapi, kasih Papah satu kesempatan lagi, nak. Papah janji bakal nurutin semua permintaan kamu sama Kak Arsya," langkah kaki Vio yang menuju pintu keluar pun terhenti. Tanpa berbalik badan Vio bertanya yang membuat wajah Fery kaku.

"Termasuk untuk cerai sama Elisa?"

"a--apa?" gugup Fery entah ingin menjawab apa.

Vio tersenyum miring, "aku tau Papah gak akan bisa nurutin. Bener 'kan? Jangan kasih janji kalau diri Papah sendiri belum berusaha untuk tepatin."

BRAKK!!

Dengan sengaja Vio membanting pintu ruangan Fery. Dirinya tidak memikirkan keluhan pasien yang berada di samping ruang rawat inap Fery. Yang Vio pikirkan hanya satu.

03;Espère✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang