"Ketika datang memiliki antonim pergi... "
Deru mesin mobil telah terhenti, menyisakan sunyi malam yang dingin. Kesunyian itu semakin nyata saat hanya ada suara dari serangga yang mungkin tengah bersembunyi di dahan pohon pun di balik tanah. Jejak hujan masih ada, tetesan air langit pun, masih dengan tipis terus turun, masih sanggup membasahi mobil yang beberapa detik tadi, mesinnya sudah ia matikan.
Dia menoleh ke samping kirinya. Melepas sabuk pengamannya sebelum, membelai dua kepala yang tengah terkulai di sana. Itu berlangsung beberapa saat, sebelum ia memutuskan untuk menempelkan punggung tangannya ke pipi dingin sang gadis.
"Chika? Udah sampai sayang." Katanya lirih.
Gadis itu terlihat mulai membuka matanya. Terlihat seperti ingin menggeliat, tapi diurungkanya mengingat ada makhluk lain yang tengah bersandar di tubuhnya.
"Berat ya? Bentar, aku keluar dulu. Biar Christy aku ambil dulu. Kasian kamu." Tanpa menunggu persetujuan sang puan, Vio langsung turun dan tak lama membuka pintu mobil sebelah kiri.
Dengan hati-hati, Vio angkat tubuh yang terasa semakin padat itu. Tubuh yang beratnya semakin kentara dibanding pertama kali Vio mengangkat Christy ke dalam gendongannya.
"Tolong bangunin yang lain ya? Aku bawa Christy masuk dulu. Berat."
"Iya, Mas."
Vio tersenyum kepada orang yang baru saja tiba dihadapannya setelah mengunci gerbang. Penjaga rumah kakeknya itu, dengan sigap membukakan pintu rumah, mempersilakan Vio untuk masuk. Tapi kakinya tak lantas dia langkahkan masuk. Kepalanya menunduk menatap lantai marmer yang lama tak ia injak. Ada rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya. Terakhir kali datang ke sini, langkahnya terburu-buru. Tergopoh-gopoh sampai kelingking kaki kanannya terbentur pintu kayu yang sekarang sedang ia tatap. Langkah terburu-buru yang—jika ia pikir sampai sekarang, rasanya percuma. Percuma datang terburu-buru, kalau yang ingin ia jumpai sudah tak bisa menjumpai dirinya. Tak ada peluk hangat, salam jabat, pun pertanyaan mengenai sakit atau sehat. Tak ada. Tidak ada itu semua.
Dia hanya menjumpai keadaan yang tak pernah ingin dia temui. Vio pikir semua manusia enggan berhadapan atau menghadapi kematian. Menyaksikan kedukaan di kediaman, hanya sebuah keadaan yang kemudian memaksa manusia untuk menerima kenyataan, kalau datang memiliki antonim kata yang penafsirannya bisa begitu menyakitkan.
Vio masih ingat, benar-benar tak akan dia lupa. Bagaimana penyesalan dalam dirinya meyeruak ketika mendapati tubuh sang kakek telah terbujur kaku dalam peti. Kebencian yang kala itu dimilikinya, malah mengukir sesal, saat tangannya menyentuh muka dingin sang Baba. Air mata yang mengering di perjalanan, kembali mengalir hingga membuat tubuhnya bergetar. Tangisnya tak bisa ia sembunyikan. Suaranya pecah hingga dia butuh ditenangkan oleh beberapa sanak saudara. Menyakitkan. Sampai sekarang, dirinya masih bisa merasakan sakit itu.
Ditinggal tanpa kata. Pergi tanpa pamit. Tapi harusnya, dia bisa menjumpai Babanya jika ia tahu, waktunya tak lagi lama.
"Mas Vio, bapak masuk rumah sakit. Gulanya rendah."
Saat menerima telepon dari asisten rumah tangga sang Baba, hati Vio sebenarnya sudah tak tenang. Tapi dia berusaha untuk abai karena ia yakin Babanya tak apa-apa.
"Jumat saya ke sana ya. Tolong jaga Baba dulu."
Jumat yang dia maksud, bukan datang dengan disambut kedukaan. Jumat yang dia maksud, datang menemui sang Baba, membawa buah atau dark chocolate kesukaan Babanya. Tak apa duduk tanpa kata seperti biasanya. Tak apa hanya menyapa ala kadarnya. Tak apa. Asal Vio masih bisa melihat dada sang Baba naik turun. Masih bisa mendengar suara sang Baba menghibur Christy. Masih bisa melihat sang Baba bermain dengan Christy. Tapi apa? Hari kedatangannya lebih cepat dari yang ia rencanakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...