"Cinta tak bisa dipaksa, pun bahagia. Kini, dia hanya bisa berharap dapat menyaksikan fenomena meteorologi langka di ujung hari, agar bisa merasa bahagia. Meski hanya sejenak."
Kopor dan kardus berisi barang-barang unitnya, satu persatu diangkut oleh petugas jasa pindahan. Dia berdiri memberi instruksi dan sesekali membantu untuk mengangkat kardus-kardus itu ke atas troli pengangkut barang.
Sejak kemarin berkemas, rasanya berat. Berat meninggalkan semua yang ada di sini. Unit ini, kota ini, dan semua kenangan menyenangkan di sini. Azizi, Febian, Lala, dan tentu saja Chika. Dia masih berat meninggalkan semuanya.
Tapi, dia juga tak bisa terus-terusan di sini. Tak bisa terus-terusan terbelenggu di kota ini. Kota yang setiap sudutnya merekam jejak bahagia dirinya dan Chika. Kota yang langitnya kerap kelabu, namun tak pernah sendu. Tak pernah sendu sebab, ada banyak kebahagiaan yang ia rasa di sini. Kebahagiaan bersama sang puan. Kebahagiaan yang kini hanya bisa ia simpan di bawah kepala.
Dia melirik jam yang menempel pada dinding. Sudah pukul 8 malam. Sedikit lagi, barang-barang yang telah ia kemas, habis diangkut oleh petugas. Meski demikian, unitnya tak lengang, dia sengaja menyisakannya untuk diangkut esok hari. Bagaimanapun juga, ia tak ingin Christy terlalu heran ruangnya kosong.
Anak itu, sedari kemarin terus bertanya. Terus keheranan, kenapa barang-barangnya dimasukkan ke dalam kardus. Tapi, Vio telah memberinya pemahaman perihal kepindahan mereka. Dan, dia hanya bisa meminta maaf berulang kali dalam hati, ketika mendapati anak itu melempar mimik sedih. Melempar pertanyaan yang cukup menyentil hati.
Dia hanya bisa meminta maaf atas keputusannya untuk pergi dari sini.
"Pak? Pak Navio?"
Dia terlonjak kaget. Kemudian mengusap wajahnya sebentar untuk mengaburkan lamun yang baru saja membayang di pelupuk matanya.
"Ada lagi yang mau diangkut, pak?" Tanya petugas itu sopan.
Vio mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruangan. Kemudian menggeleng untuk menjawab pertanyaan barusan.
"Udah itu aja dulu, pak. Sisanya biar besok, anak saya kayanya masih mau mainin mainannya. Makasih, Pak."
"Sama-sama. Kalau begitu, saya permisi dulu."
Vio hanya mengangguk. Mempersilakan dua petugas yang tadi membantunya, pergi meninggalkan dirinya sendiri.
Kini, ia tengah sendiri. Berjalan menuju balkon sembari menanti Christy yang sedari tadi diajak pergi Febi dan Zee.
Semenjak Chika lepas dari dirinya, semenjak itu pula, ia seperti kehilangan separuh jiwanya. Jika tak ada Christy, tak akan ada senyum atau tawa yang ia ukir di wajahnya. Jika tak ada balita itu, ia tak tahu bagaimana hidupnya kini. Mungkin karena baru beberapa minggu berpisah, kenangannya masih kentara. Keberadaannya masih sering ia jumpai di pelupuk mata.
Dia sudah terlalu menggantungkan kebahagiaan pada diri Chika. Sudah terlalu tinggi menggantungkan harap pada sosok perempuan itu. Ketika sang puan hilang, ia kelabakan. Seolah, Tuhan telah merenggut semua rasa bahagianya. Menarik semua senyum dan tawanya.
Seketika, saat itu semuanya menjadi dingin. Semuanya terasa kejam. Semua terasa tak adil. Kisah cintanya, dua kali kandas dengan permasalahan yang sama. Ia sempat bertanya, kesalahan apa yang telah ia perbuat kepada perempuan di masa lalu, sampai-sampai, ia dua kali berturut-turut, disakiti sedemikian rupa oleh perempuan?
Seingatnya, ia tak pernah mencampakan perempuan yang menjalin kasih degannya. Justru seringnya, ia yang dicampakan. Dia merasa, dia kerap memberikan hal terbaik yang bisa ia berikan. Tapi, ia tak menyangka, tak ada satupun kisah cintanya yang ia bawa ke jenjang pernikahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...