Bab 5 Before You Go

2.7K 286 167
                                    

Astagaaa haha semalam tinggal pencet publish loh, tp saya ketiduran hehehe
Ya sudah, selamat membaca ya ^.^
__________

Ruangan yang Chika pijak mendadak terasa sepi. Satu persatu anak asuhnya telah dijemput oleh orangtua masing-masing. Menyisakan dua anak yang masih betah tengkurap di atas lantai kayu berlapis karpet, dengan crayon di tangan mungil mereka.

Mereka begitu tenang mengajak batang crayon itu menari di atas kertas putih bergambar. Mereka tidak memedulikan bagaimana sinar oranye yang menembus pintu kaca bangunan ini, membasuh wajah polos mereka. Mereka tidak mengacuhkan silaunya cahaya matahari yang akan tenggelam itu.

Hmmm, jika berpijak pada ukuran logika ilmu, pernyataan matahari tenggelam itu tidak logis, tidak nalar. Karena pada faktanya, matahari itu tetap berada di tempatnya, bumilah yang berputar. Bumi yang kita pijaklah yang tengah membelakangi matahari. Tapi, kalau dicermati, ungkapan 'matahari tenggelam' itu ada, karena karya logika juga. Tenggelam berarti hilang, seperti batu yang dilemparkan ke dalam air. Unsur makna 'hilang' ini, kemudian diterapkan juga pada matahari. Jadi, dalam hal ini, matahari diasosiasikan dengan batu yang sama-sama bisa tidak nampak.

Lantas, apa 'dia' juga bisa diasosiasikan dengan batu juga? Batu yang dilempar ke segara, dia menghilang, tapi sebenarnya ada. Atau, sudah habis terkikis oleh air laut, hancur, dan menghilang tanpa sempat membaur dengan pasir di kedalaman sana. Terbawa gelombang. Menjadi air asin yang akan menimbulkan rasa perih saat menyentuh luka.

'Dia' adalah air itu. Kenangan mereka adalah luka. Dan Chika adalah penderitanya.

Bukan! Chika tidak bisa dikatakan penderita. Dia hanya—­orang yang kebetulan merasakannya juga. Bingung, banyak pertanyaan dalam otaknya, tapi tak lantas ia mendapat jawaban. Kepalanya masih sulit menerima penjelasan rumit waktu itu. Yang ia tahu, ia ditinggalkan kemudian sedih, hingga waktu yang menuntutnya untuk paham dan berubah menjadi rasa takut dan nyeri—sedikit.

Orang mana yang tak sedih ditinggal kawan sebaya tanpa penjelasan apa-apa. Tanpa peluk cium, tukar hadiah, bahkan lambaian tangan pun tidak. Chika tidak merasa disakiti. Tidak sama sekali. Chika tahu, itu bukan inginnya.

Tapi, pria-pria berbadan tinggi tegap, lengkap dengan seragam kebanggannya itu, datang bersama 'dia' dan orang tuanya. Entah apa yang dibicarakan di ruangan neneknya saat itu, Chika tak paham. Dia ada di dalam. Kakak dan orang tuanya pun ada. Bahkan, Papanya masih dengan setelan kantornya yang siang itu tiba-tiba datang ke daycare.

Rasa takut benar-benar menyusup ke dalam relung hati Chika saat salah satu pria dewasa itu memaki Papa, Nenek, dan Mamanya. Membentak hingga membuat Chika menangis dan terpaksa Aya tarik keluar.

Chika masih ingat bagaimana muka pria dewasa itu merah padam. Menandakan dirinya marah. Chika ingat, bagaimana pria dewasa itu membentak Papanya yang hanya bisa terdiam menerima cacian. Tapi sekali lagi, Chika masih terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi. Pun Aya yang baru pulang sekolah waktu itu. Kakaknya yang ia pikir paham, juga hanya menggelengkan kepala saat Chika lempari pertanyaan.

"Kenapa om itu marahin Papa kak? Kasian Papa, hikss,"

"Kakak nggak tau, dek, ke suster aja yuk!"

Bahkan, daycare yang biasanya berisik, seketika hening. Semua anak digiring masuk ruang tidur diberi susu agar terlelap. Chika masih ingat, Aya juga menyuruhnya untuk ikut terlelap. Tapi dia menolak. Dia malah keluar menuju ruang neneknya lagi.

"Hahhhh," helaan nafas berat Chika keluarkan. Melepas celemek yang ia gunakan seharian. Melipatnya rapi dan mengembalikannya ke etalase yang ada di ruang ini.

GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang