"Mereka berdiri pada kebimbangan hati. Negosiasi untuk sedikit mengubah jalan yang tak mereka ingini, justru membuat mereka dipecundangi."
Dia berdiri di depan cermin kamarnya. Menatap pantulan dirinya sendiri di sana. Entah sudah berapa lama dia menelisik tubuhnya dari atas hingga bawah. Entah sudah berapa kali napasnya terembus dengan berat. Entah berapa kali juga dia mengusap bandul kalung yang prianya beri.
Ada rasa berat ketika dia memutar kalung itu. Ada rasa berat ketika dia harus melepas pengait kalungnya. Mungkin bukan gerakan yang menyita tenaga. Tapi hal itu, amat sangat melelahkan hatinya.
Dia mungkin bisa menyembunyikannya di balik baju untuk hari-hari biasa. Tapi kali ini tidak. Leher jenjangnya terekspose. Membuat dirinya harus menyimpan kalung itu di laci nakas. Menyimpannya di dalam kantung beludru, kemudian menindihnya dengan beberapa barang yang ada di sana.
Dia kembali menatap pantulan sosoknya di hadapan cermin. Pintu kamar yang tak ia tutup rapat, menyelipkan bayangan hitam ke dalam kamarnya.
Kepalanya menoleh, saat pemilik bayangan itu masuk. Hela napas berat keluar dari organ pernapasannya. Sambutan yang Chika beri untuk sang mama, tak lagi mengundang tanya besar di rongga kepala wanita paruh baya itu.
Wanita itu paham akan apa yang putrinya rasa saat ini. Dia mengerti bagaimana hati putrinya berat menghadapi semua yang terjadi.
"Papa udah di mobil." Ucap sang Mama hati-hati.
"Mama duluan aja, aku nyusul." Katanya lirih.
Sang mama menggeleng. Menolak pergi dari sana.
Diraihnya pundak Chika. Ditatapnya lekat bola mata putrinya itu. Bola mata yang sama persis seperti milik sang suami. Bola mata indah itu, kini sinarnya redup.
Sebenarnya, dia selalu mendapati netra itu layu setiap kali membahas hal yang tak pernah diinginkan oleh putrinya. Bola mata cokelat itu temaram, setiap kali sang putri harus turut bertemu orang-orang yang tak pernah ingin putrinya temui. Tapi baru kali ini, ia mendapati sorot mata Chika benar-benar kuyu. Mata itu lelah. Sorot kesedihan benar-benar terpancar dengan jelas di sana.
"Capek, Ma." Lirih Chika.
"Mau mama bantu buat jelasin?"
"Ke siapa?" Tanya Chika bingung.
"Semau kamu."
Chika menggeleng, "Biar Chika sendiri yang jelasin."
"Ke siapa?"
"Mas Vio." Jawabnya singkat.
Sang mama langsung memeluk Chika erat ketika melihat setetes air bergulir dari pelupuk mata lelah putrinya.
Dia peluk lebih erat kendati Chika tak membalas peluknya. Dia usap punggung ringkih anaknya berulang-ulang agar ketenangan tersalur di sana.
Tapi Chika tetap diam, tak merespon apapun. Tatap matanya lurus dan kosong, namun air matanya terus mengalir membasahi pipi hingga dagu sang puan dan kemudian menetes ke lantai dingin di bawah sana.
*****
Dia menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Di lokasi yang dipinta sang puan. Dia keluar, meninggalkan balita yang masih terlelap di dalam mobil sendirian. Tangannya terangkat untuk memberi intruksi mobil di belakangnya turut berhenti.
Sepi. Jalan di sana masih sepi. Lampu-lampu jalan masih menyala, membantu menyinari jalanan yang langitnya masih temaram.
Sambil bersandar pada kap mobil, dia mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya. Melihat notifikasi pesan dari kekasihnya yang mengatakan akan segera sampai. Pesan itu disertai rute yang sedang gadisnya tempuh. Dia klik, untuk melihat di mana posisi Chika saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...