"Kalimat yang tersimpan, akhirnya keluar."
Suara gemuruh angin pantai begitu kentara terdengar di telinganya, menandakan bahwa di sekitarnya sepi. Beberapa teriakan di depan sana, hanya terdengar samar. Bahkan, nyaris tak terdengar. Lalu lalang kendaraan bermesin pun juga hanya sesekali melintas di belakangnya.
Dia berdiri di pinggir jalan. Menatap luasnya hamparan air asin di depan. Membiarkan rambut hitamnya yang tergerai disapu angin pantai pagi ini hingga membuatnya sedikit berantakan.
Dia sendiri. Bergelut dengan pikirannya seorang diri. Dia hanya punya dirinya sendiri untuk berbagi. Dia hanya punya dirinya sendiri untuk memutuskan apa yang terjadi.
Beberapa hari ini, dia semakin tersiksa dengan apa yang dia rasa. Dadanya semakin terhimpit. Kepalanya serasa dihantam benda tumpul saat mengingat dan merasakan yang terjadi pada kehidupannya saat ini. Semua terlihat sulit. Semua terlihat sangat sulit untuk dinalar dan juga diurai. Ingin rasanya ia lari dari hal yang membuatnya begini. Tapi harus dengan apa ia lari? Bunuh diri? Tidak mungkin. Bahkan tanpa berniat untuk hal itu, dia sudah merasa dibunuh perlahan oleh dirinya sendiri. Merasakan yang tak bisa dia tolak adalah proses membunuh dirinya sendiri. Membunuh hati dan perasaannya sendiri.
Chika melepas napas.
Kepala yang sedari tadi tegak untuk menatap yang ada di depannya sana, kini ia tundukan. Ia tundukan untuk melihat salah satu jemarinya yang terlingkari cincin. Dia tersenyum tipis. Merasa menjadi pengecut yang tak berani memakai itu di depan laki-laki yang memberinya. Dia usap perlahan lalu dia lepas dan simpan cincin itu di dalam tas secara hati-hati. Lantas mengedutkan bibirnya dan beranjak menuju mobilnya untuk segera pergi dari sana.
.....
Chika melajukan mobilnya perlahan ke utara, menembus jalanan yang tak terlalu padat. Semakin dekat dengan tujuannya, semakin banyak pohon-pohon rindang yang mengiringi jalanannya. Sejuk, namun Chika tak pernah suka ketika ia memasuki lokasi ini.
Rasanya dingin. Hawa dinginnya mencekam memori otaknya. Mendekap tubuhnya dengan dingin yang terasa angkuh. Menaungi dirinya dengan kesedihan yang sampai sekarang masih tak bisa ia singkap.
Pemakaman adalah tempat yang tak pernah diingini oleh siapapun untuk disinggahi. Bukan perkara mistis atau apapun yang berhubungan dengan dunia lain yang menjadikan banyak orang takut untuk berkunjung ke tempat ini. Melainkan, karena rasa sakit kehilangan orang yang disayang, akan kembali terbuka ketika kaki berpijak pada paving jalan setapak lokasi pemakaman. Rasa sakit di hati akan tergambar kentara saat tiba di depan nisan bertuliskan nama yang disayang.
"Nenek." Lirih Chika.
Tangannya mengusap nisan sang nenek perlahan. Senyumnya mengembang tipis.
"Maaf jarang nengok." Lanjutnya.
Setelah itu, Chika tak berucap apapun lagi. Dia menundukkan kepalanya. Terpejam menangkupkan tangan sambil berdoa di dalam hati.
"Tante, tante! Kenapa harus berdoa?"
Chika langsung membuka mata. Kepalanya ia tolehkan ke kanan dan kiri, mencari sumber suara yang barusan masuk ke dalam telinganya.
Namun, dia tak menemui siapapun di dekatnya. Matanya hanya menangkap, beberapa orang yang juga tengah melakukan kunjungan di pagi hari. Dan mereka, fokus dengan yang mereka lalukan.
Sekali lagi, Chika mengedarkan pandang, dan untuk kali kedua, dia tetap tak menemui pemilik suara yang barusan ditangkap oleh telinganya.
Chika kembali menunduk, tapi kini, disertai embusan napas kasar. Pertanyaan yang pernah ditanyakan anak itu dipemakaman sang Ayah, terngiang di sini. Chika tak paham, sudah sedalam apa balita itu masuk dalam kehidupannya, sampai-sampai di tempat seperti ini, dia merasa anak itu ikut dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...