"Tak ada yang bisa mereka lakukan selain pasrah dengan apa yang ditakdirkan untuk diri mereka saat ini"
Mereka diam seribu bahasa. Tubuh yang tadinya tegap, kini berdiri pun tak siap. Kaki yang tadinya mereka langkahkan dengan mantap, kini tak sanggup lagi berderap.
Mereka diam, seperti singa yang kehilangan gaungnya. Mereka diam, layaknya harimau yang patah taringnya.
Bahu-bahu tegap mereka, turun. Rasa percaya diri mereka runtuh. Busungan dada yang mereka bawa, didorong kasar oleh kata-kata yang mampu menohok mereka, hingga membuat sesak. Kata-kata serangan yang sudah mereka susun, kembali harus mereka telan, setelah terlebih dahulu diserang oleh ucapan yang mampu menampar mereka begitu keras. Tamparan kata-kata yang tak —atau belum mampu mereka sanggah. Bahkan, laki-laki yang telah menyiapkan untaian kata bantahan, tak sanggup mengeluarkan itu, setelah dibungkam dengan kecaman dari ucapan wanita di hadapannya tadi.
Zee, mengumpat dalam hati. Rencananya untuk membuat Shania mati kutu, malah berbalik ke dirinya dan mereka semua. Alternatif rencanya pun belum sempat ia utarakan, tapi Shania telah memotongnya dengan sindiran keras yang mampu membuat nyalinya ciut, lidahnya kelu, dan usulannya kembali ia telan dengan susah payah.
"Feb, lo nanti bawa pergi Christy ya. Biar gue, Chika, sama Vio bisa ngobrol intens."
"Bawa ke minimart kali ya, biar dia jajan."
"Cerdas! Itu anak lo tawarin es krim atau kinder juga bakal manut. Lo jajanin dah agak lama itu bocah nanti. Pilih minimart yang agak jauh. Pakai maps biar enggak nyasar."
"Terus, lo?"
"Gue mau bantuin Vio ngomong. Gue mau mastiin kalau Christy enggak bakal terlantar. Lo tahu sendiri 'kan, kalau kabaret, siang tuh sering nerima after?"
"Gue enggak paham sih Zee."
"Taek hahaha, ya pokoknya itu. Gue mau mastiin bagian ini. Kalau dia enggak ada solusi, kita bisa cegah Christy buat enggak sama dia sebelum dia nemu solusi."
"Bukannya lebih rawan kalau malam ya? Secara dia kerja malam. Enggak mungkin 'kan ninggal bocah tiga tahun sendirian di rumah?"
"Nah! Itu juga. Gue dari kemarin mikirin itu, anjir. Gimana caranya dia mau minta Christy, sedangkan malam aja dia kerja. Gila sih kalau sampai beneran Christy ditinggal sendirian di rumah."
"Dia ada rumah? Bukannya dulu Vio cerita, kalau dia pas masih nikah siri sama babanya Vio, dia ngontrak?"
"Feb, gaji pekerjaan malam tuh enggak main-main. Lo tahu sendiri 'kan, waktu itu kita abis berapa, cuma buat beberapa menit ngobrol? Belum lagi itu Ibu Christy senior. Nah, karena dia senior, kagak mungkin ya anjir, dia tiba-tiba keluar gitu aja dari bar terus urus Christy."
"Tapi, bisa aja sih, Zee. Dia nikah lagi, terus suaminya kaya, dia diminta keluar, terus nafkahin dah itu Christy sama maknya."
"Buset, simpel bener ya pikiran lo, Feb. Tapi bisa juga sih. Ah, tapi gue tetap mau pastiin bener-bener, gimana tempat tinggal Christy, gimana itu Tante Shania punya rencana ke depannya, pokoknya gue sama si Chika udah kongkalikong nanyain ini semua. Vio enggak bisa diandelin."
"Jangan sampai keterlaluan ya lo tanya-tanyanya. Hmm maksud gue, jangan sampai menyinggung yang enggak baik. Gimanapun juga, dia tetap ibunya. Berhak atas Christy."
"Siap! Tenang aja."
Dia berdecak, masih kesal dengan dirinya sendiri. Cabang-cabang pertanyaan yang sudah melintas di kepalanya, terpaksa harus ia leburkan. Pertanyaan-pertanyaan itu, harus ia lebur bersama rasa bersalah akibat kata-kata Shania tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...