EPILOG

1.9K 140 93
                                    

"Mereka tak tahu cara menyelesaikan semua yang pernah mereka mulai"

Dia masih berdiri di depan mobilnya. Memandang punggung ringkih yang baru saja berlalu dari hadapannya. Punggung ringkih yang bahunya bergetar. Punggung yang beberapa menit lalu dia dekap dan usap dengan dalih menenangkan. Dekap yang ia tahu, justru menyakitkan. Menyakiti dia dan dirinya.

Hatinya sakit melihat perempuan menangis. Menyaksikan air mata leleh dari mata indah yang kerap menatapnya penuh cinta, rasanya menyakitkan. Tapi, ia tak ingin lebih jauh menyakiti hati-hati tulus itu. Ia tak ingin memberikan harap lebih jauh kepada mereka yang pernah berharap lebih pada dirinya.

Dia lepas napas berat. Menggeleng sambil berdecak. Merapal kata maaf sambil terus menyesal.

Tubuhnya dia dudukkan di cap mobil sedan warna putih miliknya. Bahunya yang kokoh, ia turunkan. Lantas ia lepas kacamatanya dan ia pijit cukup dalam pangkal hidungnya.

"Pi..." Panggilan lembut itu membuat dirinya menegak dan melempar senyum pada si pemanggil.

Dia ulurkan tangannya untuk meminta gadis belia itu mendekat. Lengan kokohnya pun langsung mendekap erat tubuh gadis itu. Hidungnya kini sudah menghirup dalam aroma shampo sang gadis, untuk membantu melegakan rongga dadanya yang sedikit sesak.

"Masuk mobil dulu, Pi."

Dia hanya mengangguk, menuruti perintah sang anak.

"Mau sampai kapan, Pi?"

"Papi jahat, ya?"

Anak itu mengangguk, "Aku perempuan, Pi. Aku nggak mau digituin."

Dia tertegun. Telapak tangannya yang lebar, mengusap lembut puncak kepala putrinya.

"Maafin, Papi ya? Papi cuma nggak mau nyakitin dia lebih jauh."

"But, you did it, Pi."

Ia terpejam sambil mengangguk pelan. Tangannya ia angkat dari kepala sang anak hanya untuk mencengkeram kuat kemudi mobilnya.

Kepalanya ia hempaskan ke belakang. Ludahnya ia telan susah payah sambil memikirkan yang telah ia lakukan. Hatinya semakin merasa bersalah ketika mata-mata basah itu menatap dirinya penuh iba.

"Papi bisa lupain permintaan aku kok, Pi. Papi enggak harus penuhin mau aku. Yang bahkan, aku udah lupa sama hal itu. Kasih sayang yang Papi kasih, udah lebih dari cukup."

Dia membuka mata. Menoleh dan menatap lamat-lamat air muka gadisnya. Di sana ada sebuah senyum yang terukir. Senyum tulus yang rekah. Senyum yang sejak dulu selalu menjadi penopang hidupnya yang tak kokoh. Senyum yang sanggup membantu dirinya bertahan meneruskan hidup yang absurd. Senyum yang membuatnya selalu ingat, masa depan anak yang tengah beranjak remaja ini lebih penting dibanding hal yang lain.

"Maafin Papi, ya?"

Gadis itu menggeleng. Dia meraih tangan sang Papi. Menggenggam seerat yang ia bisa.

"Aku enggak mau maafin Papi kalau Papi begini lagi. Jangan terima mereka kalau hati Papi belum bisa terima orang baru." Katanya.

Dia tersenyum diikuti anggukan mantap. Titah untuk segera melajukan mobil yang diberikan oleh putrinya, ia lakukan segera.

Sedang, sang gadis yang sudah melepas tangan Papinya itu, langsung memutar tubuhnya menghadap depan. Memerhatikan jalanan lengang yang dapat menghantarkannya ke seluruh penjuru kota.

Ada seulas senyum getir terlukis di sana. Senyum getir yang gadis itu kulum begitu lama.

"Pi... Apa jatuh cinta itu, serumit ini?"

GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang