"Apa yang jadi kepunyaannya tetap akan jadi miliknya...... Selamanya."Malam ini sama seperti beberapa malam sebelumnya. Dirinya sudah semakin akrab dengan desis angin malam yang selalu menyapa kulitnya kala dini hari. Dingin yang menusuk tulang agaknya mulai terasa biasa. Bulu kuduknya tak lagi berdiri ketika angin menerpa kulitnya.
Hanya dengan satu kaleng kopi dingin, dia bisa berlama-lama duduk sendiri sambil memandang gemerlap lampu gedung seberang. Hanya dengan satu kaleng kopi dingin, dia betah berlama-lama menengadah, menatap gelapnya langit yang kini sudah semakin ramai diisi oleh taburan bintang.
Musim telah benar-benar berganti. Kelabu yang sering menggelayut di atas kotanya, tak lagi pernah ia saksikan beberapa hari ini. Terik matahari lebih mendominasi musim kali ini. Ia lebih sering menyaksikan langit cerah dan berangsur memudar ketika hari akan habis.
Musim telah berganti, hujan mulai meluntur menjadi semi musim yang menghangatkan bumi. Namun, gelisah hatinya tak juga luntur, tak juga hancur. Justru semakin bergumul, seperti kelabu awan yang menggelayut berisi air langit yang siap tumpah menjadi air mata dan membuat jejak yang mengotori wajah tegasnya.
Setiap malam di beberapa hari ini, ketika balitanya telah terlelap terkubur mimpi, ia selalu menyempatkan diri, duduk dan berinteraksi dengan satelit alami bumi. Di dalam pejam yang dalam, dia bertanya mengenai banyak hal. Tentang dirinya, tentang kekasihnya, dan yang selalu menjadi topik utama adalah tentang balitanya.
Pertemuan yang Vio anggap akan mudah setelah ia siap dengan segala sesuatunya, justru mengukir gundah. Dia belum lagi mengabulkan ingin Ibu Christy. Ada rasa takut jika mempertemukan mereka berdua lagi. Dia takut Christy ingat dan akan menangis seperti yang lalu. Tapi pernyataan Chika waktu itu, membuat hatinya serasa diguncang oleh kebimbangan.
.....
"Karena enggak mungkin dia terus-terusan jawab kalau aku Mamanya, Mas."
"Maksud kamu apa?"
Perempuan itu terlihat terkejut atas ucapannya sendiri. Diam menjadi jawaban yang Chika beri secara spontan. Tangan yang tadi menggenggam erat tangan Vio ia lepaskan perlahan seiring punggungnya yang ia hempaskan ke belakang.
Vio ikut diam, memandang heran Chika yang kini terpejam sambil memijat pangkal hidungnya. Kelopak itu terlihat begitu rapat mengatup, seperti tengah menahan sebuah rasa sakit.
"Bagaimanapun juga, dia harus tahu Mama kandungnya, Mas," Chika menegak. Bola mata di balik kaca itu, menatap Vio cukup tajam. "Dia harus tahu dari mana dia. Dia harus tahu siapa yang harus dia doakan setiap saat. Kaya kata kamu, dosa besar kita enggak kasih tahu ibunya keberadaan dia, pun sebaliknya. Kita bakal dosa kalau enggak kasih tahu siapa yang lahirin dia. Kamu pernah bilang 'kan? Kamu enggak mau anak ini jadi durhaka?" Jawabnya. Ada penekanan di setiap kata yang Chika keluarkan.
"Kenapa?" Vio memandang lurus netra Chika. Dia masih tertegun atas apa yang kekasihnya lontarkan.
Chika menunduk. Seperti ada yang ia tahan dalam tunduknya. Tangannya kembali meraih jemari kekar Vio untuk dia usap pelan-pelan. Setelahnya, ia mendongak. Masih tanpa kata, ia memeluk Vio. Menjatuhkan kepalanya di dada bidang itu. Mendekap tubuh Vio hingga kehangatan yang tubuh mereka keluarkan, melebur menjadi satu dalam pelukkan.
"Kita hidup hanya tentang waktu, Mas."
......
Semua tentang waktu. Seharusnya Vio tahu. Seharusnya Vio paham. Dan seharusnya dia ingat apa yang pernah ia ucapkan. Tentang tujuannya, tentang kepasrahannya akan keputusan Tuhan, tentang semua hal yang menyangkut Christy.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
Hayran KurguKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...