Mereka dituntut untuk patuh
Mengelak adalah kegiatan membuang-buang tenaga
Pada akhirnya, mereka terpaksa mengangguk dan mengatan 'iya'
Meski hati tak rela, itu adalah jalan mereka
Jalan yang dibuat untuk mereka, lebih tepatnya
*
Hening.
Hening. Hanya ada keheningan di ruangan itu. Tidak ada yang membuka suara, –belum. Mereka tidak tahu apa yang harus dibicarakan saat ini. Jangan berbicara, mata merekapun seperti enggan menatap satu sama lain. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing. Bahkan, dalam keadaan seperti ini, masih ada yang sibuk dengan ponselnya. Padahal, harus ada yang mereka bicarakan. Ada hal yang lebih patut diperhatikan.
Hari mulai larut, tidak ada lagi tamu yang singgah. Hanya sanak saudara yang kini mendiami rumah yang kini terasa begitu dingin. Sudah tak ada lagi isakan seperti tadi. Hanya saja bekas yang ditinggalkan dari acara menangis itu masih terlihat. Sebagian dari mereka, masih memerah matanya, juga bengap. Tapi, acara yang begitu menyayat hati dan jiwa ini masih harus berlanjut besok.
"Hahh..." satu hembusan nafas lelah keluar dari salah satu yang ada di sana. Lantas dia meneguk air putih yang baru saja di sodorkan padanya, untuk mencari kesegaran di tengah rasa bosan malam ini.
Saat menurunkan gelas dari bibir, pandangannya ia jatuhkan ke punggung kecil seorang anak perempuan yang sedari tadi tak berpindah tempat. Di ruangan seberang, anak itu terus menerus memandangi tubuh sang ayah yang telah terbujur kaku di dalam peti. Begitu menyayat hati melihatnya, tapi seolah tak ada yang peduli. Hmm, memang tidak ada yang peduli.
Dari mereka memang tak ada yang menaruh perhatian pada gadis polos itu. Mungkin hanya dia, –Vio yang memperhatikan gadis itu. Hanya memperhatikan tanpa ada niatan mendekat, belum ada. Tapi, sedari tadi kedatangannya di sini, perhatiannya terus ia pusatkan pada gadis kecil yang tak mau berpindah tempat itu.
Matanya sayu. Apa dia paham kalau, laki-laki yang ia tunggui dan ia usap kepalanya secara lembut itu, tidak akan pernah bangun lagi? Pertanyaan itu terus berputar di kepala Vio. Dia tidak tega melihatnya.
"Besok pemakamannya pukul 10. Saya sama istri langsung pulang setelah selesai. Kalau ada yang mau dibicarakan, sekarang saja. Saya capek, mau tidur juga," ucap salah satu pria yang sedang memangku anaknya yang telah terlelap.
"Dia bakal ikut siapa?" semua mata tertuju pada gadis yang sedari tadi tak mereka pandang.
"Aku nggak bisa. Anakku ada tiga, nggak mungkin nampung dia," Vio mulai memperhatikan perbincangan itu. Di ruangan ini hanya dia yang paling muda. Tentu ini hanya akan menjadi bahasan yang tak akan Vio masuki. Ini urusan mengurus gadis itu.
"Apalagi saya, anak saya masih kecil, istri juga lagi hamil, nggak mungkin bawa bocah asing ke rumah," Vio hanya menyinggungkan senyum getirnya saat mendengar peryataan Omnya yang memang sedikit angkuh itu.
'bocah asing'. Bahkan dia bukan orang asing. Dia masih ada hubungan darah dengan mereka. Meski memang kehadirannya tidak pernah diharapkan.
"Apa lagi aku, aku masih SMA. Hidup aja masih ikut Mama Papa. Aku juga nggak mau rumah ada bocah!"
"Iya, kami juga nggak bisa bawa anak itu ke rumah. Saya sama Mas sibuk," tambah tante Vio menimpali celetukan anaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...