Bab 50 Perempuan dan Rasa Bersalahnya

1K 148 60
                                    

"Dia hanya sendiri. Dia berdiri sendiri. Menyelami kubangan penyesalan dalam diri. Membersihkan luka hati seorang diri, sembari menunggu hari pemaafan yang tak tahu kapan itu akan datang menghampiri."

"Kenapa lo enggak bilang dari awal? Lo gila Chik!"

"Kak? Gimana bisa gue bilang dari awal? Sedangkan, gue enggak tahu kalau ujungnya begini?"

"Ya lo 'kan bisa nolak, Chika!"

"Berapa lapis topeng yang kudu dipakai Mama Papa kalau gue nolak? Gue sayang sama mereka, gue enggak mau bikin mereka malu atau kecewa. Gue tahu, gimana sayangnya Papa ke Kak Ranggit. Gimana dia masih merasa punya rasa hutang budi ke Kak Ranggit!" Dia menangkup mukanya. Merasakan dadanya yang terasa penuh kala bercerita tentang apa yang dia rasa selama ini.

"Gue pernah mendamba dia sebegitunya. Gue pernah pengen benar-benar jadi punya dia. Setelah gue dapetin dia? Ternyata itu cuma obsesi gue, cuma rasa kagum gue. Ada rasa sayang. Sedikit. Dan itu cuma bertahan sebentar. Tapi.... Setiap gue mau selesaiin hubungan sama dia, gue enggak tega. Dia sayang banget sama gue. Dia perlakuin gue kaya ratu, kak." Dia menjeda ceritanya. Mengambil napas untuk bisa melanjutkan cerita yang selama ini dipendamnya sendiri.

"Tapi lo nyakitin dia, Chik. Enggak seharusnya lo bertahan dan setuju terikat, kalau hanya karena kasihan atau enggak tega."

Dia mengangguk, menyetujui ucapan sang kakak. "Gue salah kak. Tapi gue enggak tahu lagi cara balas budi ke Kak Ranggit gimana. Banyak yang udah dia korbanin buat gue. Gue senang, gue bahagia, gue nikmatin laku agung dia ke gue. Tapi di sisi lain, gue kesiksa sama hal ini. Gue udah berusaha coba buat kembangin rasa sayang gue, tapi enggak tahu, gue enggak bisa."

"Lo nemu cinta yang lain?"

.....

Ada rasa lega kala itu. Beban di hatinya yang selama ini terpendam, sedikit terbuka ikatannya. Lega. Namun, rasa lega itu, kembali dihimpit, ketika dia merasakan cinta lain hadir secara samar di hatinya. Rasa yang pernah ia tepis. Rasa yang pernah ia sangkal. Namun malah terlukis semakin jelas saat ia meluangkan waktu untuk memberikan gambaran Mama kepada salah satu balita daycare-nya.

....

"Halo, kak?"

"Ya, sayang? Tumben pagi-pagi telepon? Ada apa?"

"Eh ganggu tidur kamu ya?"

Ada kekehan di seberang, "Enggak kok. Udah bangun dari tadi. Maaf ya, belum hubungin kamu, tadi saya langsung megang kerjaan kamarin."

Dia bergumam. Ada sedikit rasa takut ketika ingin masuk ke topik selanjutnya.

"Ada apa, sayang? Kangen?"

"Ah hmm... Kak? Akau izin nemenin main anak daycare aku, boleh?" Tanyanya setelah beberapa jenak terdiam.

"Lho? Boleh dong. Itu kan tugas kamu sekarang."

"Tapi, ini cuma satu anak. Dan... sama ayahnya."

"Chika? Kamu becanda!?"

"Kak dengerin aku dulu. Aku enggak ada maksud apa-apa. Ini pure karena aku care sama anak itu. Dia kehilangan Mamanya, kak. Dia bahkan enggak tahu Mama itu apa. Aku cuma mau kasih tahu dia, gimana rasanya punya Mama seharian ini. Boleh?"

GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang