"Mereka sama-sama mencinta pada setiap aroma tubuhnya. Mereka sama-sama mencinta pada setiap inci sentuhan yang mereka terima. Tapi mereka lupa, itu bukan milik mereka, dan sulit untuk menjadi milik mereka."
Kaki langit tempatnya hidup sinarnya sudah meredup. Meninggalkan warna jingga yang amat digemari oleh kaum penikmat senja, katanya. Kopi, puisi, novel, hingga buku sekte kiri kerap kali menjadi tentengan mereka. Seperti sudah menjadi hal lazim, penikmat senja identik dengan bacaan berat dan bahasa ndakik-ndakik ketika berbicara. Seolah ingin menunjukkan bahwa mereka adalah kaum intelek yang anti bacaan teenlit, ceklit, romance menye-menye, terlebih fanfiction. Meremehkan selera baca seseorang sepertinya bukan hal asing lagi. Ini kerap kali terjadi di kalangan mahasiswa tinggkat awal. Terlebih mahasiswa Sastra Indonesia.
Tentu tidak semua, hanya oknum yang ingin terlihat seperti pujangga ulung, di hadapan banyak orang yang berlaku seperti itu.
Orang-orang seperti Chika, mana peduli mengenai langit jingga yang bisa menjadi inspirasi. Menurutnya, diam menikmati warna langit ujung hari sudah cukup. Tanpa kopi, pun buku sekte kiri. Dia tak paham perihal seperti itu. Dia bukan orang yang pandai berimajinasi untuk menciptakan rangkaian kata. Dia hanya penikmat senja, itu saja. Setidaknya untuk hari ini, dia benar-benar menjadi sang penikmat langit oranye yang terlihat begitu indah sore ini.
Awan kelabu yang biasa menggelayut di atas sana, tersapu oleh angin, hingga menjadikannya tak ada. Beruntung.
Beruntung tidak mendung. Sehingga dia bisa pergi dari rumah lebih awal dan pulang agak larut.
Sedari pagi, usai sarapan, sebenarnya Chika sudah ingin pergi. Tapi, Christy enggan beranjak dari kamar Aya. Bocah itu asyik memainkan mainan Ben. Entah, Chika juga heran, tumben sekali bocah itu tak cepat bosan.
Seperti sekarang. Sudah terhitung sejak empat jam yang lalu, anak itu belum bosan menaiki motor plastiknya di atas pasir pantai. Kaki mungilnya masih dengan semangat dia dorongkan ke tanah untuk membuat motornya melaju.
Chika hanya duduk menyaksikan bagaimana bocah empat tahun kurang itu, bersusah payah mendorong kakinya agar motor-motoran yang dia tumpangi bisa bergerak di atas pasir pantai ini. Bagaimana bocah itu bersusah payah, mengejar laki-laki yang sedang pura-pura berlari itu. Rengekan dan tawanya, seperti menjadi pelipur lara hati Chika. Sudah tak bisa ditawar lagi memang, jika bahagianya anak itu adalah bahagianya juga.
Chika memang menghindar. Menghindar dari seluruh keluarganya. Dia seperti enggan bertatap muka dengan mereka semua. Bahkan, tadi dia sempat kesal dengan Christy karena bocah itu kekeuh ingin terus bermain bersama Ben. Dan dia sempat membentak Christy.
"Hah..." Helaan napas berat ia keluarkan. Menyesal atas tindakkannya pada Christy tadi.
Maka, agar emosinya kembali stabil, dia memilih pergi. Membawa sedikit paksa Christy dengan iming-iming Al yang menemani. Untungnya, anak itu mau.
Dia ingin menghindar sejenak. Dia tak mau kekesalannya, berimbas ke keluarga ataupun orang-orang di dekatnya lagi. Berdiam diri di rumah sama saja membiarkan hatinya tertekan lebih dalam. Jadi, dia memutuskan untuk pergi. Menghubungi Zahrain untuk menemani dirinya dan Christy bermain, sekaligus menikmati angin pantai yang sedari tadi membuat tatanan rambutnya berantakan.
Chika tak peduli dengan itu. Dia butuh ruang pandang yang lebih luas, agar pikirannya tak sempit. Agar, apa yang membuat otak dan hatinya penuh, setidaknya sedikit melonggar. Setidaknya, dia agak tenang setelah keluar dari rumah. Untuk beberapa saat ini, dia sedikit tenang. Hanya sedikit.
Setelah membuang napas, dia melempar pandangnya ke depan. Kemudian mengukir senyum saat memerhatikan anak itu tertawa. Anak kecil seperti memiliki dunianya sendiri. Entah lucu atau tidak, jika menurut mereka seru, mereka akan tertawa. Tawa yang kemudian menular pada Chika. Tawa yang membuat dada Chika sesaknya melonggar. Tawa yang membuat Chika sejenak melupakan tatapan nyalang sang Papa.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...