"Dunia ini, bukan dihubungkan oleh cinta. Melainkan ketakutan."
Ketidak-pahaman manusia akan kehidupannya, mungkin sering terjadi pada setiap individu, termasuk dia.
Dia dulu, hanya mengerti rasa bahagia, meski tak paham betul bagaimana konsep bahagia yang sebenarnya. Hari-harinya dulu—yang banyak dia ingat, hanya diisi dengan tawa dan kesenangan saat bercengkrama dengan dengan teman sebaya. Senyum, tawa, canda, kemudian sesekali diselipi tangis, itu menjadi rutinitas hari-harinya di masa jauh sebelum dia dewasa. Bermain, bermain, bermain, dengan diselingi belajar adalah kegiatan favoritnya.
Tak ada beban yang lebih berarti dibanding PR Matematika yang acap kali membuat dirinya uring-uringan karena sulit menjumlahkan deretan angka-angka yang ia anggap sebagai deret laknat.
Sungguh hanya itu dulu beban hidupnya.
Dulu, dia hanya mengerti bahwa dia hidup untuk bermain dan tertawa bahagia. Hanya itu.
Terlalu sering mengecap kebahagiaan, membuat dirinya ingin mengakhiri kehidupan saat pertama kali hidupnya merasakan yang namanya kesedihan.
Bukan, tidak sebatas kesedihan, tapi, kehancuran. Hampir hancur atau telah hancur. Mungkin waktu itu dia masih terlalu kecil, tapi bukankah memori manusia itu telah dengan baik merekam semua kejadian dalam hidup, sejak mereka berumur 4 tahun, bukan? Jadi, tidak ada alasan dia tidak ingat semua, karena umurnya sudah melewati angka 4 waktu itu.
Dibeberapa waktu yang telah berlalu, dia sering merasa, menemukan yang namanya absurditas kehidupan. Dia tak paham, untuk apa dia hidup, untuk apa dia bertahan hidup. Untuk apa dia hidup kalau keingintahuannya mengenai hal yang ingin dia tahu, dibungkam oleh dunia. Dunia membisu saat banyak pertanyaan yang benaknya teriakkan. Sekali lagi, dia sempat berpikir, kalau hidup hanya sebuah ketidak jelasan semata, kenapa waktu itu dia tidak bunuh diri saja. Toh hidupnya juga belum jelas—waktu itu.
Tapi, seperti kata Albert Camus seorang pengarang novel yang acap kali menulis perihal kehidupan yang absurd dan bagaimana tokoh-tokohnya bertahan hidup di sana, dia mengatakan jika absurditas ini merupakan hasil pertentangan antara keinginan manusia untuk mengerti melawan dunia yang membisu, maka kita tidak bisa menghancurkan satu kutub persoalanya saja, dalam hal ini membunuh diri sendiri. Bunuh diri merupakan bentuk kekalahan manusia atas absurditas dunia. Jika seseorang memilih jalan itu untuk keluar dari permasalahan hidup, justru sebenarnya mereka sedang melompat ke dalam ketiadaan yang akan menghancurkan dirinya sendiri. Maka jika melarikan diri membuat diri ini mengalami kehancuran jiwa yang lebih jauh, pilihan satu-satunya adalah hidup berdampingan bersama absurditas dengan perasaan bangga dan terhormat.
Dan dia memilih untuk hidup berdampingan dengan absurditas. Karena dia mengerti—walau belum sepenuhnya paham— kalau hidup bukan hanya untuk mati. Ada yang harus dia cari, meski arti kehidupan itu sendiri masih antara hitam dan putih. Tapi dia sadar, dia tak hidup sendiri, kelahirannya, tak mungkin dia sia-siakan. Kelahiran yang mungkin membuat orang tuanya bahagia, tak mungkin dia pecundangi begitu saja. Berat, hidup itu berat, sekalipun mengaku merdeka.
Merdeka itu bebas, tapi tidak. Merdeka itu beban, ada banyak yang harus dicapai setelah kemerdekaan itu. Bukan anugerah, kemerdekaan bukan anugerah, melainkan dialah yang acap kali menimbulkan berbagai macam persoalan hidup, karena menuntut manusia untuk bertanggung jawab atas kemerdekaannya. Sedang, beberapa orang tidak bisa mempertanggung jawabkan lahir dan hidupnya.
Dia tidak mau disebut sebagai orang yang tak bertanggung jawab atas kelahirannya ke dunia. Bagaimanapun juga, dunia ini nanti, menuntut dirinya untuk menjadi seorang yang penuh tanggung jawab. Sebagai laki-laki, dia harus berani bertanggung jawab atas semua yang telah diputuskan atau yang dia putuskan sendiri.
![](https://img.wattpad.com/cover/229529170-288-k560871.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...