"Ia bisa saja berkata 'iya'. Mengangguk atas permintaan yang ditujukan padanya. Tapi dia tak melakukannya."
Sudah cukup lama dia tak menggoreskan mata pensil di atas kertas kosong. Sudah cukup lama dia tidak menuangkan imajinasinya ke dalam sebuah gambar. Ah, tidak sepenuhnya tak menuangkan, karena pada kenyataannya dia sering membantu anak-anak untuk menggambar apa yang mereka ingin. Hanya saja, untuk menggambar hal yang ingin ia gambar, memang sudah cukup lama tak ia lakukan. Tak ada waktu. Waktunya habis tersita di penitipan anak. Waktunya ia gunakan untuk merasakan hal paling menyenangkan di dalam hidupnya. Jatuh cinta. Merajut kasih dengan lawan jenis yang benar-benar ia sayang, adalah kegiatan paling menyenangkan dalam hidupnya. Sayangnya, ia harus menyelipkan luka batin di dalam hatinya juga orang yang ia cintai.
Ia sepenuhnya benci akan hal itu. Ia sejujurnya tak menyukai keadaan seperti ini. Tapi ia benar-benar tak bisa mengelak atas apa yang hatinya rasakan. Dorongan kuat untuk mengaku sayang, tak bisa ia bendung. Dorongan yang ternyata membuat dirinya terjerembab begitu jauh ke dalam jurang yang telah ia ketahui ada di depannya.
"Chika?" Sebuah panggilan tergema setelah sebelumnya ada suara pintu diketuk.
"Ya, Ma?" Sahutnya sambil mengibaskan kertas yang ada dihadapannya.
Dia tersenyum sekilas sebelum membalikkan kertas itu dan menindihnya dengan pensil serta penghapus yang tadi dia gunakan.
"Ada apa, Ma?" Tanyanya setelah menarik pintu kamarnya.
Di sana sang mama tengah berdiri dengan senyum tipis. Ia tak menjawab pernyataan Chika. Namun, gerakan kepalanya menuntut Chika untuk keluar kamar dan mengikuti mamanya.
.....
Sehelai kain, tiba-tiba disampirkan sang mama di tubuhnya. Dia yang sedang duduk menatap ke depan, menoleh sejenak ke samping.
"Malam ini dingin. Banget." Ujar Mama Chika sembari mengambil duduk di samping putrinya.
"Kenapa kita enggak bicara di dalam?" Tanya Chika.
"Mama pikir, kamu lebih suka bicara di luar." Jawab Mamanya.
Chika mengangguk kikuk. Lantas dia ikuti gerakan sang mama untuk mengangat cangkir cokelat yang tak lagi panas.
"Tugas kamu udah selesai beberapa minggu lalu." Mamanya membuka percakapan.
Percakapan yang mampu membuat Chika mengatupkan bibirnya lagi sebelum bibir cangkir menyentuhnya. Dia turunkan cangkir itu dan menunduk.
Dari atas, dia bisa melihat bagaimana pekatnya cokelat cair yang mamanya buat. Dia bisa melihat, bagaimana buih-buih cokelat itu satu persatu meletus. Satu persatu hilang dari pandang. Namun, buih-buih itu meninggalkan bercak cokelat di dinding cangkir hingga membuatnya kotor.
Dia jadi membayangkan dinding hati Vio ketika ditinggal oleh Christy. Bagaimana luka kepergian anak itu membekas di sana. Dia juga jadi membayangkan, kondisi hati Vio jika yang pergi adalah dirinya. Apakah akan sama kotornya? Atau akankah, Vio memikirkan dirinya hingga berlarut-larut seperti Vio memikirkan Christy?
Tidak, bukan, Chika bukan cemburu terhadap Christy jika nanti, kenyataannya akan berbeda. Dia tahu sudah pasti berbeda. Dia hanya khawatir akan bekas luka yang ia tinggalkan nanti.
"Chika masih belum bisa, Ma. Dia masih kelihatan terpukul." Katanya kemudian.
"Kalau kamu nungguin dia pulih, itu bakal lama."
Chika menoleh menatap mamanya, "Seenggaknya, dia sedikit membaik."
"Sampai kapan?" Chika mengendikkan bahu serta menggeleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...