BAB 2 Bentuk Permintaan Maaf

3.6K 322 197
                                    


Vio menyulut ujung rokoknya. Menghisapnya dalam dan mengembuskannya kasar. Dia kini sedang duduk di teras depan. Di lantai marmer yang terasa sangat dingin malam ini. Kakinya ia pijakkan pada tanah berlapis batu-batu tumpul yang sengaja dibuat untuk terapi, katanya. Kepalanya ia sandarkan pada tiang di samping kirinya. Wajahnya mengadah pada langit gelap di atas sana. Tak ada bintang, seperti akan hujan.

Diskusi alot nan kolot orang-orang dewasa tadi, benar-benar membuat Vio merasa malu. Malu memiliki keluarga besar yang memilih berdiskusi menggunakan otot dari pada otak. Tak ada yang mau mengalah. Mereka asik berdebat. Debat yang tak ada gunanya, hanya menghabiskan tenaga. Benar-benar sangat memalukan!

Sekali lagi, Vio menghisap batang rokoknya dalam. Mencari ketenangan dari gulungan tembakau itu. Dia masih terkejut dengan keputusannya sendiri malam ini.

"Nah, berarti deal kalau kita bawa anak itu ke panti,"

"Kita itu masih keluarganya, dia masih kecil. Pikirin lagi lah, Pa!" mohon Vio.

"Keluarga?" Papa Vio tersenyum remeh. "Dia itu, cuma anak hasil hubungan gelap kakek kamu sama pembantu di rumah ini! Ibunya sendiri aja pergi entah ke mana, kenapa kita harus pusing-pusing mikirin dia? Panti asuhan bakal nerima dia kok, di sana dia bakal keurus," balas Papa vio sambil menatap anaknya dengan dahi berkerut.

"Kalian gimana, setuju bawa anak itu ke panti?" Vio gusar saat semua keluarganya yang tadi tanding otot, seketika patuh dengan keputusan Papa Vio.

"Pa? Arghh!" Vio mengacak rambutnya kasar.

"Kalian itu –arghh! Ck! Oke! Dia ikut saya!"

Hatinya masih terasa sakit mendengar berita duka tadi pagi. Begitu mendadak. Oh ya jelas mendadak! Kematian tidak ada yang tahu kapan waktunya tiba. Malam ini, giliran kepalanya yang dibuat sakit oleh perdebatan yang berujung dengan lidah Vio yang sembarangan mengambil keputusan. Tapi jika dia tidak mengambil keputusan itu, bagaimana perasaan kakeknya, saat mengetahui keegoisan anak-anaknya? Bagimana perasaan sang kakek, saat mengetahui anak-anaknya begitu tega mengasingkan saudaranya ke panti asuhan? Vio tidak bisa membayangkan bagaimana sedihnya pria tua yang ia sayangi itu, di alam sana. Vio tidak tega.

Hsss fuhhh

Ia menundukkan kepalanya. Membuang asap rokoknya ke bawah. Sejujurnya ada yang amat ia sesali saat ini. Dia menyesal, beberapa tahun ini tidak sering menengok kakeknya, hanya 2 atau 3 kali dalam setahun. Sebelum mengetahui berita tentang kelahiran Christy, Vio bisa setiap bulan mengunjungi kakeknya. Tapi setelah itu, jika sang kakek memintanya untuk datang pun, dia selalu berdalih sibuk dengan pekerjaannya. Padahal kenyataannya, dia sibuk dengan dunianya sendiri. Dia sibuk dengan rasa bencinya. Dia sibuk menyalahkan tindakan kakeknya. Tindakan yang membuat diri Vio pun keluarganya malu.

Vio mengangkat kepalanya. Dia menoleh ke arah dalam. Dari tempatnya duduk ia bisa melihat peti mati sang kakek yang diletakkan di meja panjang pendek di ruang tengah. Tapi? Ke mana gadis kecil yang sedari pagi setia berada di samping peti kakeknya?

"Astaga!" dia hampir meloncat dari tempatnya duduk, kala Christy tiba-tiba berada di samping Vio. Dia duduk dengan kaki menggantung. Kakinya tidak mencapai ke alas batu kerikil yang ada di bawahnya.

Vio tidak bertanya apapun, gadis itu juga tidak membuka mulutnya. Dia hanya menatap Vio sekilas lantas turun dan berlari kecil menuju bunga yang tertanam di ujung halaman rumah ini. Bunga yang Vio tak mengerti namanya. Bunga putih yang sepertinya baru Vio lihat tumbuh di sana. Hahh, sebegitu singkatkah dia saat berkunjung ke sini? Sampai– seperti tidak ada waktu untuk sekadar menoleh, memperhatikan tumbuhan apa saja yang di tanam kakeknya di lahan sempit halaman rumahnya ini.

GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang