"Tidak ada yang lebih menyedihkan dibanding menjadi lakon yang tersiksa saat saling mencintai, di atas panggung sandiwara milik Tuhan."
Sudah berganti hari, namun Vio masih belum bangun dari tidur panjangnya. Laki-laki itu masih mengatupkan kelopak matanya begitu rapat. Masih terlihat begitu nyaman terlelap, kendati sedari kemarin, sang balita terus mengganggu tidurnya. Seperti sekarang.
Anak yang baru datang bersama Zee, sudah membawa kaki mungilnya menaiki ranjang rumah sakit yang diisi Vio. Anak itu, langsung mendekap Vio kendati lengan mungilnya tak bisa merengkuh dengan sempurna dada laki-laki yang dia anggap sebagai Papinya itu.
"Om Zee! Aku lepas iniannya boleh? Aku mau kiss Papi?" Izinnya sambil menunjuk masker yang ia kenakan.
Zee mengangguk sambil membantu Christy untuk melepas masker yang ia pakaikan sebelum ke sini.
"Belum ada perubahan apa-apa, Feb?" Dia bertanya pada Febi yang sedang menyantap sarapannya di sofa sana.
Ya benar, Febi, Zee, juga Chika, sepakat untuk bergantian menjaga Vio. Mereka bertiga tak tahu ingin menghubungi siapa. Mereka tidak ada yang memiliki nomor keluarga Vio. Pun keluarga Vio, dari kemarin ponsel laki-laki itu tak berdering. Mereka pun juga tak mengetahui kode ponsel milik Vio. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bergantian menjaga Vio, juga Christy.
"Belum, Zee." Jawab Febi singkat.
"Ck! Betah banget molor dah, temen lo." Febi hanya tersenyum mendengar ucapan Azizi barusan.
Dia yang tadinya berdiri di samping ranjang, ikut duduk bersama Febi. Mengawasi Christy dari tempatnya duduk.
"Chika bilang, nanti biar Christy ke daycare." Kata Febi setelah merapikan bekas sarapannya.
"Dia kirim suster daycare-nya satu, buat jaga Vio selama kita kerja. Soalnya, dia enggak mungkin jaga berdua di sini sama Christy. Kasian Christy dari kemarin di sini terus, rumah sakit banyak virus."
Zee mengangguk paham. Menerima semua rencana yang Febi sampaikan. Dia agak lega, masih ada jalan keluar di tengah kebingungannya kemarin, perihal siapa yang akan menjaga Vio yang belum sadar juga hingga sekarang.
Jujur, Zee semakin merasa bersalah atas tindakannya kemarin. Hatinya tak tenang semalaman. Tidurnya tak nyenyak. Paginya juga sedikit memusingkan, karena dia juga harus mengurusi Christy, kendati dibantu oleh kedua orang tuanya sekalipun.
Kopor berisi baju Christy, yang belum sempat ia turunkan dari mobilnya, ia bawa ke rumahnya. Lumayan banyak baju-baju itu. Sehingga cukup ia gunakan untuk keperluan Christy selama anak itu ikut dengannya atau dengan Febi nanti.
"Papi kok, bobo terus? Aku 'kan mau main sama Papi."
Zee menoleh, menatap nanar Christy yang masih merebahkan tubuhnya di samping Vio. Masih memeluk Vio. Dan masih mengusap-usap muka Vio dengan tangan mungilnya.
Dia berdiri, menghampiri Christy untuk menepuk puncak kepala anak itu. Mencoba memberikan ketenangan pada muka yang terlihat sedih di sana.
"Om?" Christy angkat kepalanya untuk menatap Zee. "Kok Papi enggak bangun-bangun? Kan ini udah pagi. Papi enggak mau main sama aku, ya?" Tanyanya.
Garis bibir mungil itu turun. Bola mata bersih milik Christy, tiba-tiba berair.
Zee dapat melihat dengan jelas kesedihan itu berkumpul di mata dan muka Christy. Kesedihan itu benar-benar menaungi atas kepala sang balita. Zee tak tahu harus berbuat apa. Dia hanya membiarkan, anak itu kembali menyimpan pertanyaannya. Membiarkan anak itu kembali menyimpan kepalanya di samping kepala Vio.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...