"Pintanya terdengar sederhana, tapi amat sangat menyiksa untuk mengucap, iya."
"Dadah, Papi!" Tangan kekarnya terangkat untuk membalas lambaian tangan mungil sang balita.
Dia belum berpindah dari tempatnya berdiri. Matanya masih memandang punggung kecil yang berlalu ke dalam bersama sang suster.
Pamit yang selalu Christy lontarkan, kini terasa begitu menyakitkan bagi Vio. Lambaikan tangan yang Christy berikan ke Vio, terasa berat untuk ia balas.
Sesak. Itu yang Vio rasa. Ucapan pamit, lambaian tangan, pun bahkan kecupan yang Christy beri, seperti momok menyeramkan saat ini.
Takut kehilangan adalah dasar semuanya. Semua yang bocah itu lakukan, semuanya Vio perhatikan. Ia selalu menganggap semua itu adalah sinyal perpisahan dari Christy. Bodoh memang. Dia sendiri yang selalu membentuk pikiran negatif dalam otaknya. Padahal, orang-orang di sekitarnya memberikan dorongan positif untuk percaya bahwa ia akan terus bersama balitanya. Tapi, Vio selalu terusik akan ucapan Christy yang selalu bercerita mengenai Shania dua minggu ini.
Iya, Vio mengabulkan permintaan Ibu Christy untuk mengizinkannya bertemu sang buah hati setiap akhir pekan. Sependek ini, sudah dua kali mereka bertemu dan bermain. Vio paham, anak itu akan dengan mudah akrab dengan orang yang memperlakukannya dengan baik. Ia akan menganggap semua orang baik, setelah ia menerima perhatian lebih dari orang yang bersangkutan. Jadi, Vio tidak heran jika Christy akan mudah akrab dengan Shania. Terlebih, itu ibunya sendiri. Seseorang yang memiliki warna darah yang sama dengan Christy. Seseorang yang memiliki ikatan batin kuat dengan Christy.
"Papi, nanti kalau libur aku main lagi sama Ibu yang itu?"
"Christy mau?"
"Mau. Sama Papi ya? Sama Tante Mama, Tante Dey, Tante Lala, Om Zee, Om Febi, sama Potato! Yeay! Banyakkkk... Aku happy!"
"Christy happy?"
"Happy! Kan ada Papi! Aku suka main sama Papi. Aku sayanggg Papi."
Bentangan tangan padat yang kemudian terlingkar di lehernya, selalu Vio dapatkan setiap saat. Anak itu selalu memberikan sentuhan sebagai tanda cintanya pada orang-orang di sekitar. Peluk, kecup, genggaman, bahkan cubitan yang Christy beri untuk dirinya, itu semua adalah bentuk cinta dari sang balita. Bentuk rasa sayang yang membuat Vio semakin sayang. Membuat Vio semakin enggan melepas. Dan sekaligus, membuat Vio tersiksa akan takdir yang terus membayang.
"Papi belum berangkat?" Vio mengerjap. Ia yang gelagapan, langsung buru-buru mengusap mukanya lantas berjongkok di depan Christy yang kembali keluar.
"Ini mau berangkat." Jawabnya seraya mengusap kepala Christy yang tak lagi terlapisi topi kuning.
"Papi nangis? Papi jangan nangis 'kan aku enggak gigit Papi."
Vio tersenyum. Ia kembali mengusap mukanya. Mengusap sudut-sudut matanya yang telah disentuh terlebih dahulu oleh Christy.
"Peluk Papi, sayang." Titah Vio pelan. Ucapannya tercekat. Hingga suara yang keluar dari mulutnya hampir serupa dengan lirihan.
Tanpa harus diperintah dua kali, Christy langsung menerima bentangan tangan Vio. Anak itu langsung masuk ke dalam dekap Vio saat itu juga.
"Papi? Aku mau ikut Papi. Aku enggak mau di sini. Aku mau temenin Papi." Ungkap Christy.
Vio langsung melepas pelukkannya. Dia tatap Christy dengan matanya yang berkaca-kaca.
"Papi 'kan kerja, sayang."
Christy menggeleng, "Tapi Papi nangis. Aku mau temenin Papi." Dia berucap dengan muka sendu.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...