Bab 46 Tertahan

794 123 31
                                    

"Tidak semua yang ada di pikiran dan hati perlu dikeluarkan. Ada kalanya beberapa harus ditahan, agar keadaan bisa berjalan dengan lancar sesuai keinginan."

Langit semakin gelap. Ruangnya berdiri semakin terasa sepi. Hanya sesekali terdengar gesekan antara ban kendaraan dengan aspal jalanan. Sepi itu semakin terasa sunyi, kala telinganya mampu mendengar angin berbisik cukup jelas. Bisikan bisu yang membuat ia semakin sadar kalau ia sendiri.

Ditemani satu kaleng soda yang telah ia tenggak isinya, dia duduk termangu dengan pakaian yang sedari tadi belum ia ganti. Ia hanya melepas luarannya saja dan membuka kancing kaos polo, untuk memberi akses oksigen lebih banyak masuk ke tubuhnya.

Sesak? Tidak terlalu. Karena dia tak menaruh harap terlalu tinggi. Ia tak mengandaikan hal paling indah setelah makan malam tadi. Dia sudah memprediksikan hal ini, bahkan sejak ia menawarkan ajakan makan malam beberapa hari yang lalu. Dia sudah memperkirakan jawaban yang akan diberikan sang puan kepada dirinya.

Ia pikir, dengan menaruh harapan serendah-rendahnya, membuat dirinya tidak gugup. Namun, nyatanya dia tetap pada keadaan yang membuat keberaniannya kembang kempis. Entah apa penyebabnya, ia benar-benar gugup sebelum bertemu kekasihnya tadi.

Kegugupan itu, kemudian mereda kala, dirinya menjatuhkan pandang pada mata kesukaannya. Mata indah yang selalu membuatnya lupa akan pijakan pada tanah. Mata indah yang menyipit kala lawan pandangnya menarik garis bibir menjadi seulas senyum. Dan mata itu, memberi setitik keberanian pada dirinya untuk mengungkap kata-kata yang telah ia susun di kepala sejak sore tadi.

Sungguh, ia sebenarnya ingin melakukan ajakan itu dengan tindakan lebih sederhana. Di warung pinggir pantai dengan menyeruput air kelapa murni sambil berbincang mengenai ubur-ubur yang hidup abadi. Atau menyewa motor, berkeliling kota ditemani sekotak jus instan dan ketoprak pinggir jalan.

Rencana itu bukan semata-mata ia tak mampu mengajak Chika ke tempat mewah. Bukan. Bahkan, jika ia mau, ia bisa menyewa satu restoran hanya untuk makan romantis berdua dengan Chika. Dia bisa lakukan itu. Rencananya, hanya agar pikirannya bisa teralihkan oleh suasana pantai dengan bisingnya deru ombak atau dinginnya bisik angin malam jalanan kota ini. Ia butuh lebih banyak ruang untuk berdamai atas prediksinya. Ia butuh banyak ruang untuk menaungi hatinya yang perih karena jawaban tak pasti yang Chika beri.

Otaknya, butuh ruang lebih luas untuk terus bisa menjadi waras. Ia sadar, tulisan pada buku yang ia baca, ada benarnya, kalau pikiran merupakan tempat paling kompleks di muka bumi ini. Tapi ia juga paham, tak semuanya yang ada di dunia harus ia masukkan ke dalam kepala. Justru, ia harus pelan-pelan mengeluarkan isi kepala yang menganggu. Dengan memberi ruang pandang lebih luas, pikiran akan meluas, tidak sempit. Itu pikirnya.

Namun, rencananya ia urungkan sendiri. Ia ganti dengan menyewa satu meja di restoran paling romantis menurut Azizi. Dia ikuti saran temannya itu untuk melakukan aksinya di restoran tadi.

Kini, ia hanya menyinggungkan senyumnya mengingat yang barusan ia lakukan kepada Chika. Keberanian yang dia kumpulkan susah payah, sedikit patah, mendapati bibir tipis Chika terkatup rapat saat ia meminta jawaban. Hingga ia terpaksa memberikan pilihan yang mungkin akan semakin membuat hubungannya dan Chika, sulit menemui ujung yang bahagia.

Glek!

Vio kembali menenggak soda yang ada di genggamannya. Ada harap yang ia taruh dalam setiap tenggakkan soda yang masuk ke dalam kerongkongannya. Harapan untuk melegakan dadanya dan meringankan kepalanya. Ia sempat ingin menarik pengait kaleng minuman alkohol, namun ia urungkan. Tangannya kembali menyimpan kaleng itu di bagian paling bawah lemari esnya. Dia kembali menyimpan kaleng itu bersama kaleng minuman alkohol yang sengaja ia beli usai mengantar Chika tadi.

GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang