"Dia memiliki dua jalan yang ingin kakinya tapaki. Tapi langit bilang, pilih salah satu. Dia mencoba mengiba. Tapi langit menolak negoisasinya. Ini membuat organ tak terjamahnya ngilu. Pilihan sulit berdecit sungguh mengganggu. Beban-beban datang tak menunggu yang lain pergi terlebih dahulu. Seperti kertas berserakan, tak tahu mana yang harus dibuang dan dipertahankan."
"Mas, aku butuh waktu buat paham, aku pulang ya?"
"Chik?"
"Tante enggak boleh pulang! Papi, tante enggak boleh pulang! Jangan pulang tante!" Tangis pilu Christy tiba-tiba pecah. Anak itu pun langsung turun dari pangkuan Vio, berpindah duduk di atas paha Chika dan terisak di sana.
"Ssstt... Jangan nangis. Udah mau malam sayang, tante pulang ya?" kata Chika sambil mengusap-usap punggung kecil Christy dengan lembut.
"Enggak boleh!" Tolak Christy. Dia pecahkan tangis lebih kencang di ceruk leher Chika. Tangannya pun bertaut erat sempurna di balik leher sana. Seolah memberi isyarat kalau Chika tak boleh pergi. Benar-benar tak boleh pergi.
Chika tak mengeluarkan kalimat penolakan lagi. Entah kenapa, kali ini tangis Christy terdengar begitu pilu. Terdengar begitu menyakitkan hingga membuat hati Chika ngilu.
"Jangan pulang, tante..." Lirih Christy sambil sesenggukkan.
Chika yang tadi sudah menggenggam tasnya dan bersiap untuk pergi, ia letakkan kembali. Dia urungkan niatnya untuk pulang demi Christy
Kedua tangannya, kini sudah ia gunakan untuk mendekap Christy. Untuk mengusap-usap punggung kecil itu, berharap bisa meredam isak tangis yang masih anak itu keluarkan.
Sumpah demi apapun, rasanya benar-benar menyakitkan hati Chika, mendengar Christy menangis saat ini. Mendengar Christy terus mengiba, memohon agar dirinya tak pulang, sungguh terasa begitu menyayat hati.
Setelah beberapa saat, ruangan dingin yang tadi bising oleh suara tangisan sang balita, kini kembali hening. Kembali senyap setelah tangis itu sedikit redam. Tak ada yang bersuara, hanya deru napas dua orang dewasa yang terdengar juga sesenggukan Christy yang masih kentara diterima oleh gendang telinga.
Chika memandang Vio sekilas yang tengah menunduk. Hanya sekilas. Dia hanya memastikan, apa yang sedang pria itu lakukan. Apa yang sedang pria itu pikirkan hingga tak berani untuk sekadar menoleh ke arah Chika.
Dia tarik atensinya dari Vio, beralih untuk lebih memerhatikan anak yang sedang mendekapnya erat. Dengan hati-hati, Chika lepas tautan tangan mungil di lehernya. Dia tarik pelan tubuh itu agar bisa melihat wajah Christy. Chika tatap Christy seraya melempar senyum. Dia berharap semoga senyumnya bisa sedikit menenangkan kekhawatiran bocahnya itu, "Udah ya, jangan nangis, tante enggak pulang kok. Tante di sini temenin Christy." Katanya sambil mengusap air mata yang sudah membuat jejak di pipi Christy.
Christy mengangguk patuh, "I–ya, tan–te jang–an pu–lang." Katanya terbata-bata karena masih mencoba menahan tangisnya agar tak kembali pecah.
Tak Chika jawab. Dia langsung memasukkan lagi tubuh Christy dalam pelukannya. Dia dekap anak itu lebih erat, lebih dalam. Chika cium puncak kepala Christy itu cukup lama. Berahap mendapatkan ketenangan dari aroma lotion rambut anak kesayangannya itu.
Hati Chika masih tak karuan rasanya mendengar pernyataan Vio beberapa menit yang lalu. Dia tak menyangka, terkaannya benar. Ketidakpahaman anak ini tentang ibunda, ternyata berdasar. Dia tak menyangka, bahwa perhatian yang selama ini dia berikan, bak kepingan puzzle kebahagiaan yang baru saja Christy temukan. Dia tak menyangka, mungkin memang hanya usapan lembut di puncak kepala atau pelukan singkat yang Chika berikan, tapi ternyata itu sangat berharga untuk Christy.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanficKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...