Bab 44 Di Balik Kata

753 117 16
                                    

"Lidahnya bisa berkilah. Namun, hati dan pikirannya, tak bisa menepis semua gundah."

Setiap sudut ruangan ini, telah merekam semua tindakannya. Telah merekam semua polah tingkahnya. Jika mengaku terbiasa, ya dia terbiasa akan bayang-bayang yang masih saja sering terlintas dalam kepalanya. Katakanlah gila, imajinasinya sudah menembus batas tak wajar. Matanya, acapkali menangkap sosok mungil tersenyum kepadanya di setiap sudut, di sepanjang waktu.

Pagi hari ketika membuka mata, ketika dia menyiapkan sarapan, memberi makan kucing kecil, menggosok gigi, anak itu, seperti berada di dekat Vio. Anak itu seperti sedang tersenyum memerhatikan semua yang Vio lakukan. Lebih gilanya lagi, dalam pejam, dia acapkali mendengar sayup-sayup panggilan Papi. Dalam pejam, dia sering mendengar tawa Christy. Yang lebih menyakitkan, dia beberapa kali mendengar tangis pilu Christy dan pintanya untuk pulang.

Sialnya, dia tak bisa berbuat apa-apa. Menggelengpun tak mampu menghilangkan halusinasi yang kerap mampir ke dalam tempurung kepalanya. Rindu yang amat mendalam terhadap sosok Christy, membuat dirinya kerap gila sendiri. Tapi, tak dapat ia pungkiri, dirinya menikmati. Dia menikmati. Vio menikmati kala suara Christy dengan lembut memanggilnya, kala tawa Christy masuk ke telinganya, dan kala sentuhan tangan mungil, bisa ia rasakan dengan lembut membelai pipinya.

Kali inipun, dalam pejam mata, ia bisa merasakan bagaimana jari jemari itu menelusuri lekuk mukanya. Dia bisa merasakan hangatnya sentuhan telapak tangan yang ia rindukan. Dia bisa sedikit melepaskan belenggu kerinduan yang membekuk hatinya begitu dalam.

"Mas?"

Vio langsung membuka mata. Ia langsung memutus angannya yang berpikir itu adalah telapak tangan Christy.

"Ah... Hmm, kenapa, sayang?" Dia bertanya dengan gugup.

"Udah selesai belum bersihin kandang Potato? Sarapannya udah dateng, udah aku siapin."

Vio menunduk, melihat kandang kucing dan kain yang ada di depannya. Melamun, membuatnya lupa kalau dia saat ini sedang mengeringkan kandang kucing yang barusan dia cuci.

"Baru mau aku keringin. Potato mana?"

Chika menoleh ke arah dalam, menunjuk kucing kecil yang sedang menggigit-gigit bola karet di dalam.

Vio hanya mengangguk.

Chika yang tadinya berjongkok, kini mengikuti Vio untuk duduk bersila di pinggir pintu keluar balkon. Dia ikut mengeringkan tempat makan dan tempat pasir milik kucing kesayangan Christy.

"Kenapa kamu tinggalin kucing ini di sini, Mas? Padahal dia bisa jadi teman Christy di sana." Tanya Chika sambil terus mengeringkan printilan-printilan itu menggunakan kain.

"Ketinggalan. Tapi, mungkin ini emang cara Tuhan biar aku enggak kesepian. Aku jadi main terus sama dia."

"Kamu sayang Potato?"

"Harus. Christy sayang dia juga. Aku sampai enggak habis pikir sama itu anak. Aku tawarin kucing ras yang lebih bagus dan lucu dia enggak mau. Malah milih ini kucing kampung." Jawab Vio.

Laki-laki itu tersenyum geli jika mengingat bagaimana Christy menolak tawarannya membelikan kucing ras yang lebih bagus.

"Papi beliin mpus baru aja ya, sayang. Yang bagus, nih lihat, lucu. Warna grey."

"No! Papi! Aku enggak mau warna grey!"

"White? Papi beliin yang white oke? Tapi Potato pulangin ke parkiran daycare ya?"

"No! Papi! No! Potato sama aku. Dia enggak boleh main sendiri."

"Tapi 'kan itu kucing kampung sayang. Enggak lucu. Lucu ini nih, tuh ya, gembul kaya kamu."

GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang