Bab 20 Kita

1.9K 211 388
                                    

"Saat menyentuh dada, ada getar dari dalam sana. Pun saat netra saling bertubrukan, saat menggenggam tangan, saat melihat senyuman, semua terasa hangat dan menggetarkan sisi hati. Ketika terlarut dalam hangat yang dada ciptakan, ada bayangan yang mengusik. Bayangan keraguan di hati-nya. Bayangan kebimbangan di balik dada-nya. Juga bayangan rasa bersalah di dalam benak-nya."

Guyuran air yang menempa kepala juga badannya, sedikit cukup membuat otak dan dadanya terasa dingin. Setelah hal yang membuat panas hatinya kemarin-kemarin, ia sulit untuk tak menaruh curiga pada perempuan yang saat ini tengah dia perjuangkan untuk ia genggam dan tak pernah akan ia lepaskan. Hatinya selalu ngilu saat mendapati laki-laki lain yang selalu hadir di daycare dua minggu belakangan ini. Empat belas hari itu, dia selalu mendapati Chika dan Al tengah duduk berdua di balik alat musik ruangan itu sambil menghibur Christy. Setiap hari, di beberapa hari belakangan ini

Vio takut, dia takut, Chika yang masih sulit ia genggam, akan mudah terlepas begitu saja. Kendati Chika selalu bersamanya, selalu memperlakukan dirinya layaknya suami, tapi tidak dapat dipungkiri, sesungguhnya dia masih khawatir akan Chika yang bisa kapan saja terlepas. Dan sekarang, ketakutannya bertambah, semenjak Chika menemukan teman kecilnya.

Vio menunduk, membiarkan aliran air menempa kepala belakangnya. Dia merasa payah, dia bingung. Harus dengan cara apa lagi dia meraih Chika, meraih hatinya. Bukan Vio meragu akan rasa sayang Chika terhadap dirinya, bukan. Bagaimana bisa dia ragu, kalau setiap dia tatap mata Chika, dia merasa seperti sedang bercermin. Dia seperti menemukan sosok dirinya dia mata Chika. Mata perempuannya itu selalu menatap dirinya penuh dengan rasa sayang. Tapi entah kenapa hati kecilnya selalu berulah. Meragukan sedikit tatap itu.

"Mas?" Suara ketukan pintu disusul oleh suara lembut perempuan yang sedari tadi dia ratapi perihal kesungguhan mencintai dirinya.

Dia terpejam, belum menjawab panggilan Chika. Kini dia mengadahkan kepalanya membiarkan air menempa wajah tegasnya. Chika kembali memanggil. Panggilan yang selalu membuat hati Vio hangat. Panggilan yang selalu Vio anggap istimewa. Panggilan lembut yang hanya Chika gunakan untuk dirinya. Entah kenapa Vio selalu merasa diistimewakan ketika Chika memanggilnya "Mas" di tengah panggilan "Kak" yang selalu Chika berikan ke laki-laki yang ada di sekitar dirinya.

Sejak pertama meminta Chika untuk tak memanggilnya dengan sebutan "Pak" dadanya langsung bergetar kala Chika usul untuk memanggilnya "Mas". Mungkin terdengar sepele untuk beberapa orang, karena nyatanya memang itu panggilan umum. Tapi di dalam kepalanya sudah terbentuk, kalau panggilan itu merupakan panggilan penghormatan yang begitu lembut untuk seseorang yang disayang.

Kiblat Vio adalah Papa dan Mamanya. Dia acapkali mendengar Mamanya dengan mesra memanggil sang Papa "Mas". Menurut Vio, itu benar-benar panggilan yang memiliki rasa beda. Panggilan yang menegaskan, bahwa si pemanggil memiliki perasaan istimewa kepada yang dipanggil. Ah, tapi itu pikiran Vio saja, teori Vio saja. Belum tentu Chika memiliki pemikiran yang sama. Belum tentu juga dia hanya menggunakan panggilan itu untuk dirinya. Tapi, Vio berharap, Chika benar-benar memiliki rasa sayang yang dalamnya sama seperti apa yang Vio rasa.

"Mas Vio? Masih lama?" Panggilan ketiga Chika belum Vio jawab juga. Dia matikan dulu kran airnya lantas meraih handuk dan melilitkannya pada tubuh bagian bawah.

"Mas—"

"Udah kok." Dia lempar senyum setulus mungkin ke arah Chika yang berdiri tertegun di sana. Dia menangkap sirat kegugupan dari diri Chika.

"Ada apa?" Tanyanya curiga.

"Emmm itu—Christy mau makan nungguin kamu. Ya udah aku ke Christy dulu. Ah— emm, bajunya udah aku siapin di atas kasur." Katanya dengan terburu-buru.

GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang