Hari ini, terhitung sudah lebih dari dua minggu dari hari di mana Vio mendapatkan kontak-kontak informan waktu itu. Kontak-kontak yang diberikan oleh tetangga kakeknya. Kontak-kontak yang dia harapkan bisa memberi pencerahan mengenai ibu kandung Christy. Tapi nyatanya, kontak-kontak itu —mereka semua mengatakan kalimat yang sama saat Vio menghubunginya.
"Maaf, Mas, saya nggak tau,"
"Waduh, Mas, saya kan udah lama nggak kerja sama bapak, jadi saya nggak tau mas,"
Dan jawaban tidak memuaskan lainnya. Hanya jawaban tidak memuaskan yang diterima telinganya dari seberang sana. Hanya jawab yang cukup berhasil meruntuhkan harapan, yang ia dapatkan. Hanya itu. Tidak ada kejelasan —belum, belum ada. Ini baru kali pertama. Masih ada waktu panjang untuk mencarinya, sangat panjang, bahkan seumur hidup.
Vio menumpukan tangannya di pagar balkon apartemennya. Memandang pada lampu-lampu kamar penghuni gedung di seberang. Lampu-lampu itu sebagian masih terlihat berpijar dengan terangnya. Adapula yang redup, hanya lampu kamar yang berwarna kuning hangat yang menyala. Pun ada pula yang benar-benar mati.
Dia sendiri, memilih mematikan lampu ruanganya. Menyisakan lampu balkon yang tak seberapa terangnya. Terlihat hangat, namun nyatanya tidak. Lengan yang hanya berlapis kaos tipis itu membutuhkan gesekan dari telapak tangan Vio sendiri, untuk membuatnya sedikit hangat.
Kali ini tak ada rokok pun kopi yang menemani tengah malamnya. Dia bahkan baru tadi membuang semua rokoknya ke tempat sampah. Jika diambil pun masih bisa. Tapi dia enggan. Dia tak mungkin mengambil dan menyulut gulungan tembakau itu lagi, setelah dengan cerobohnya dia merokok di dekat Christy hingga membuat anak kecil itu terbatuk untuk beberapa saat. Dia —Vio tidak ingin mengotori paru-paru anak itu. Anak yang sedang ia lindungi.
Vio sendiri sesungguhnya bingung saat ini. Christy sudah bersamanya hampir satu bulan. Ia takut jika dia tak bisa menemukan ibu kandungnya. Dia bingung harus bagaimana. Merawat anak itu hingga besar? Apa kata orang tuanya dan tanggapan mereka yang bahkan Papanya sendiri tidak sudi menyentuh anak itu? Jangankan menyentuh, melihatnya pun engan. Mereka semua, semua keluarganya, menganggap kelahiran anak itu sebagai malapetaka.
"Bang, kalau kamu nggak bisa nemuin ibunya, gimana? Mama mau sebenarnya ngerawat dia, tapi Papa kamu? Mama nggak mungkin lawan suami Mama,"
Itu adalah suara lembut Mamanya yang masih berdengung di gendang telinganya hingga saat ini. Sejak awal keputusannya, memang hanya sang Mama yang terlihat mendukung. Tidak jarang Mamanya menanyakan bagaimana Christy dan perkembangan Vio mencari ibunya. Tapi, seringnya Vio sendiri yang manarik diri dari sang Mama, seperti tak ingin membuat Mamanya ikut memikirkan hal ini. Dia tak ingin sang Mama ikut campur dalam urusan merawat Christy. Bukan durhaka, dia tak ingin sang Papa tahu kalau Mamanya peduli terhadap anak yang Papanya anggap adalah anak pembawa sial. Dia tak ingin Mamanya terkena imbas kemurkaan sang Papa saat tahu kalau istrinya menyayangi darah daging sang Kakek. Vio tak ingin membuat orang tuanya ribut.
Vio membalikan badan, berganti menyandarkan punggungnya ke pagar besi itu. Memandang ruangan yang hanya tersinari oleh sorot lampu kamar yang pintunya Vio buka sedikit. Di dalam sana, Christy sudah terlelap. Ini sudah dini hari, sudah dapat dipastikan anak itu sedang terlelap sedalam-dalamnya di alam bawah sadarnya sana.
Dia sering menatap wajah lugu Christy saat terlelap. Bagaimana anak itu tertidur dengan karet botol susu yang masih ia kenyot. Bagaimana suara dengkuran yang keluar dari mulut mungilnya. Bagaimana bibir tipis itu kadang tiba-tiba tersenyum dengan sendirinya. Pun saat tiba-tiba keningnya berkerut. Sering, sering Vio dapati semua itu setiap anak itu tertidur dengan tenangnya.
Vio kadang berpikir, apa yang sedang Christy mimpikan sampai-sampai mimik mukanya kadang berubah-ubah. Apa dia pernah memimpikan ibunya? Tunggu! Pertanyaan itu terlalu jauh Vio rasa. Apa dia pernah bertemu ibunya sebelumnya? Atau... dia sebenarnya tidak mengenali sosok ibu itu sebenarnya apa? Vio tidak pernah bertanya perihal itu kepada Christy. Anak itu pun juga tak pernah bertanya mengenai sosok ibu pun membahas sosok itu. Di setiap cerita atau celetukan singkatnya, hanya sosok Baba yang selalu ia sebut, tidak ada yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...