Bab 11 Awal Cerita

2.2K 238 200
                                    

Maaf ya, tadi sempat unpub dulu hehe, banyak salah tulis nama Christy haha, udah dibenerin kok, selamat membaca :)

________________________________________

"Keputusannya sekarang adalah bentuk dari keegoisan. Awal cerita cintanya berjalan beriringan dengan luka. Melukis cinta setiap harinya sama saja dengan mengukir derita setiap waktunya."

Kamis gerimis di kota ini, tidak bisa dikatakan lebih romantis dari Paris. Jangankan romantis, pagi ini ini justru terasa begitu dramatis. Ah—dia yang mendramatisasi keadaan lebih tepatnya. Tapi, tidak bisa dikatakan mendramatisasi juga, karena hatinya saat benar-benar tengah diselimuti rasa khawatir setelah menerima telepon dari Vio puluhan menit yang lalu.

Chika, adalah orang yang tengah kalang kabut saat ini.

Di balik kemudinya itu, pandangannya beberapa kali ia bagi antara jalanan dengan navigasi yang gawainya arahkan. Sedikit merepotkan, harus membagi konsentrasi seperti ini. Chika tidak suka. Saat sedang buru-buru seperti ini, yang ia inginkan hanyalah menginjak pedal gas lebih dalam. Tapi, apa boleh buat? Ini adalah kali pertama kuda besinya membelah jalanan menuju alamat Vio. Mau tidak mau, ia butuh bantuan navigasi itu agar bisa sampai ke alamat yang Vio berikan.

"Chika, aku demam."

Itu adalah sepenggal kalimat yang berhasil membuat Chika buru-buru menuntaskan kegiatan memoles wajahnya tanpa sempat melahap sarapan yang telah Mamanya siapkan. Jangankan mengunyah sarapan, menyesap susu hangat yang juga sudah tersaji pun tidak. Padahal, Vio hanya mengatakan dirinya demam, bukan jatuh dan patah tulang, tapi khawatirnya Chika seperti usai mendapat berita yang kedua.

Bermenit-menit ia mendumal sendiri sepanjang jalan, karena begitu banyaknya lampu merah yang harus ia lewati dan memaksa mobilnya untuk mengikuti simbol berhenti. Pagi ini jauh dari kata macet, jauh dari kata padat. Namun, untuk menerobos lampu merah saat lengang seperti ini, bukanlah hal terpuji. Bukan Chika tidak berani, tapi dia adalah warga negara yang taat. Sia-sia rasanya hidup melanglang buana, mencecap berbagai macam ilmu pengetahuan, belajar pola hidup masyarakat, tapi perkara lampu merah saja masih dilanggar, terlebih untuk mereka yang sering tidak berhenti di belakang garis putih.

*

"217...217...215..."

Tap tap tap

Langkah kakinya ia percepat menyusuri lorong agar segera mencapai nomor pintu yang dimaksud.

"Mas?" panggilnya sambil mengetuk pintu sopan. Chika agak menggeser tubuhnya ke kiri, menanti pintu dibukakan oleh sang penghuni.

Cukup lama Chika menunggu. Tapi, pintu berwarna abu-abu itu juga tak kunjung dibuka oleh Vio. Chika semakin berdebar, takut terjadi apa-apa.

Baru saja tangannya terangkat, berniat kembali mengetuk, pergerakan pintu membuat Chika mengurungkan niatnya. Sesaat sudah terbuka, sosok Vio muncul dari balik pintu dengan penampilan acak-acakan. Rambutnya tidak tertata, wajah bersihnya sedikit memucat, sorot matanya layu.

"Tante, Papi sakit!" Itu jelas Christy yang berseru.

Chika mengalihkan tatapannya, ia tidak sadar kalau sedari tadi anak itu berdiri di samping Vio sambil menggenggam jemari Vio.

"Masuk dulu, Chik." Chika hanya mengangguk. Ia gandeng Christy untuk turut juga.

Baru kali ini, Chika menjejakkan kakinya ke lantai apartemen milik Vio. Bau mint dari pengharum ruangan Vio, langsung menyambut indera penciumannya. Tidak, tidak hanya bau mint, bau bedak bayi dan minyak telon juga ikut andil memenuhi aroma ruangan itu. Dan seperti kebanyakan orang yang baru pertama kali mamasuki ruangan asing, pasti tidak bisa untuk menahan menyapu ruangan itu dengan pandangannya. Pun Chika, sejenak ia menyapu ruangan milik Vio ini. Hanya sejenak, lalu ia hentikan. Chika takut jika itu tidak sopan.

GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang