Bab 29 Berpikir Tentang Kisah Selanjutnya

1.5K 178 239
                                    

"Tak ada manusia yang mengerti akan jalan cerita yang Tuhan beri. Mereka hanya bisa berusaha, berharap, berharap, dan berharap, atas yang mereka ingini agar kisahnya berjalan sesuai ingin hati."

Rembulan musim hujan masih bertengger di atas sana. Cahayanya redup, hampir lenyap. Tapi cukup menjadi penerangan dirinya yang sedari tadi berdiri di balik jendela kamar sembari mengamati titik-titik air yang tak sanggup lagi awan tampung di atas sana.

Hujan dini hari—bahkan hampir menjelang subuh, akhir-akhir ini memang sering terjadi. Dia yang baru terlelap sekitar satu jam yang lalu, kembali terbangun karena suara bising sang hujan yang turun dengan derasnya. Harusnya, atau biasanya, jika hujan mengguyur dengan deras seperti ini, dia akan menyelinap ke dalam selimut lebih dalam. Dia akan membungkus dirinya dengan selimut tebal hingga batas leher, atau yang paling sering ia lakukan adalah, menariknya hingga ujung kepala.

Tapi, hari ini, dia tak melakukan itu. Sedari tadi, matanya pun sulit untuk diajak bekerjasama dengan keadaan tubuh yang sudah lelah. Tidak seharusnya menyalahkan mata, karena ini ulah dari otak yang terus menerus bekerja. Memikirkan ini itu hingga ia sulit untuk terlelap, barang dua atau tiga jam.

Tubuhnya lelah. Dia mengantuk, tapi tidurnya terusik akibat pikiriannya sendiri. Pusing. Kepalanya sudah beberapa kali berdenyut. Menghela napas dan menggelengkan kepala untuk menolak kembali berpikirpun percuma. Setiap kali dia diam, otaknya berulah. Memikirkan segala sesuatunya. Lebih tepatnya, berpikir tentang yang belum terjadi. Pertanyaan "bagaimana jika" Atau pernyataan "seandainya kalau" terus menerus berputar. Hingga hampir setiap ujung setiap pemikiran, adalah dia yang menyalahkan diri sendiri.

Matanya ia pejamkan sejenak. Sebelum memutar badan untuk kembali ke ranjang.

Ada helaan napas berat kala kakinya telah mencapai depan nakas. Dia buka laci nakasnya. Dia tatap barang-barang yang ada di sana. Kotak berkain beludru, beberapa jam tangan, kotak aksesoris, dan beberapa strip obat ada di sana.

Napasnya dia buang lagi dengan berat. Dia tak paham, sejak kapan dia menyimpan obat tidur di sana. Obat tidur yang bisa dia dapatkan bebas di apotek, hanya agar bisa terlelap malam hari dan tak merasa lesu keesokan harinya. Tapi kali ini, dia urung. Dia tutup kembali laci nakasnya. Memilih langsung membaringkan tubuh di samping tubuh mungil yang sedari tadi dia balut dengan selimut, dari pada menyobek bungkusan obat tidur dan menenggaknya saat itu juga.

Dia ikut menyelinap ke dalam selimut yang bocahnya gunakan. Dia lingkarkan lengannya ke balik punggung kecil itu. Dia dekap. Dia hirup partikel-partikel aroma yang menempel pada tubuh mungil itu dalam-dalam. Aroma tubuh yang menenangkan. Aroma tubuh yang memang acapkali selalu melegakan dadanya yang terasa sesak, akibat terhimpit oleh berbagai macam persoalan yang tak kunjung dapat ia selesaikan. Aroma tubuh ini, menjadi aroma favorit dirinya sejak beberapa bulan yang lalu. Sejak dirinya, memutuskan menerima tawaran sang kakak untuk mengurus tempat penitipan anak keluarganya.

"Tante?"

"Iya sayang, tante di sini. Bobo lagi ya." Lirihnya saat mendapati anak yang dia dekap seperti tengah mengigau.

Tangan mungil itu, kemudian terlingkar erat ke lehernya. Mendekap tubuhnya erat, seperti sedang mencari kehangatan di sana. Dia balas tautan tangan itu dengan mengusap-usap punggung kecilnya lebih lembut.

Keputusannya membawa Christy ke rumah adalah tepat. Balita itu, kembali terbangun sesaat setelah Chika baringkan di ranjangnya. Christy kembali merengek meminta susu dan mainan. Tapi tak lama, cukup dengan Chika temani menghabiskan isi botolnya, anak yang sudah seperti anaknya sendiri ini, kembali tertidur. Kembali mengeluarkan dengkur halus. Dengkuran yang sempat membuat Chika terlelap juga, sebelum hujan deras membangunkannya.

GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang