Bab 42 Di Atas Pembatas Jalan

857 132 19
                                    

"Di bawah temaram langit malam, mereka berpagut. Tangan mereka bertaut. Namun hati mereka didekap rasa takut."

Tak ada yang bersuara. Tak ada suara apapun yang menggema di dalam mobil. Hanya bunyi deru mobil samar yang telinga mereka terima. Jalanan yang lengang, membuat angin yang dibelah oleh laju mobil mereka, sayup-sayup bisa terdengar.

Vio menurunkan kecepatan mobilnya, ketika menoleh, mendapati sosok perempuan yang duduk di sampingnya, terlelap. Perempuan kecintaannya terlelap dengan kepala terkulai ke arah jendela dengan tangan bersidekap.

Kini tangannya terjulur untuk mengusap pundak dan lengan sang kekasih. Tangannya terjulur untuk menarik salah satu tangan gadisnya.

Hangat. Itulah yang Vio rasakan setelah berhasil menggenggam tangan Chika. Sambil membagi fokus dengan jalanan, dia kecup sebentar punggung tangan Chika. Dia usap lembut punggung tangan itu menggunakan ibu jarinya beberapa kali. Dia genggam erat hingga beberapa puluh meter jauhnya mobil itu melaju.

Entah. Rasanya, Vio belum ingin pulang. Ia masih butuh ketenangan dari mengamati lalu lintas jalan yang sepi. Dia masih butuh angin malam untuk mengaburkan semua penat di kepala dan hati.

Vio tahu, Vio paham, itu akan percuma. Karena pada dasarnya, dirinya masih belum ikhlas. Mau sebanyak apapun angin yang menempa kulitnya, sebanyak apapun jenis angin yang menyapa wajahnya, itu akan percuma. Angin-angin tersebut hanya akan ditertawai oleh jiwa Vio yang memang masih dalam keadaan terguncang.

Dia semakin menurunkan kecepatan mobilnya. Mobilnya melaju di tepi, kemudian  berhenti. Kecamuk hati semakin berulah sesaat setelah dirinya menoleh ke belakang dan mendapati ruang kosong. Mendapati kursi balita yang ada di belakang kosong. Tak ada botol susu kosong yang tergeletak. Tak ada rontokan snack yang berceceran. Tak ada plastik pembungkus makanan ringan yang kerap Christy letakkan di sampingnya. Tak ada. Hal itu tak akan ada lagi sekarang atau esok.

"Papi, Papi! Lihat! Potato mam ciki aku juga!"

"Papi, maafin aku ya, cikinya tumpah. Baju aku kotor."

"Ih... Papi! Jangan dimam! Itu punya aku!"

"Papi mau? Tapi dikit aja ya, nanti Papi batuk."

Vio buang napas berat. Matanya terpejam. Kepalanya ia sandarkan pasrah ke jok yang ia duduki. Semua celoteh Christy, terlalu berat untuk diingat. Terlalu sesak untuk dirasa.

Bahkan, dalam pejamnya saat ini, suara Christy masih bisa jelas ia dengar. Muka anak itu masih dengan jelas ia lihat. Dia benar-benar masih belum siap untuk kehilangan anak itu. Tak akan pernah siap lebih tepatnya. Tak akan. Karena inginnya adalah membesarkan Christy. Menjaga Christy. Dan memastikan anak itu tumbuh dewasa dengan baik sampai datang seorang pria yang berjanji menjaga anak itu dengan seluruh jiwa raga. Vio memang selalu berandai-andai seperti itu. Andai-andai yang hari ini dipatahkan oleh dirinya sendiri. Vio mematahkan cita-citanya sendiri demi mewujudkan cita-cita orang lain. Dia mematahkan hatinya sendiri demi memulihkan hati orang lain.

Bodoh? Entah. Vio tak paham. Karena sampai saat ini, ia belum merasakan kepuasan atas pencapaiannya memulihkan kehidupan seseorang yang cedera atas kehilangan anak itu. Dia belum mampu merasa puas atas apa yang telah ia lakukan. Justru sebaliknya, ini amat sangat menyakitkan. Dan Vio tak tahu, akan sampai kapan, rasa sakit seperti ini bertahan di dalam dadanya.

Sekali lagi, dia buang napas berat. Dia menoleh menatap Chika yang tak berubah posisi sedikitpun. Vio paham, gadisnya lelah. Amat sangat lelah. Sedari tadi, Chika ikut menenangkan Christy. Chika ikut menangis. Dan Chika jugalah yang sepanjang hari ini, menenangkan dirinya.

GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang