"Rasa gugup, tak bisa mereka redam. Langkah ragu, senyum kaku, lidah kelu. Mereka berdiri di tempat yang berbeda dan berpikir, semua ini, nyata atau semu?"
Dia berdiri di depan cermin sedari beberapa menit yang lalu. Matanya terus menilik pantulan tubuh tegapnya di depan sana. Berulang kali ia perhatikan dirinya dari ujung kaki hingga rambut yang barusan disisirnya rapi. Sangat rapi dengan sedikit sentuhan pomade.
Ia puas dengan penampilannya kali ini. Kemeja putih, berbalut vest abu-abu muda, dan dasi hitam yang mengikat rapi kerah kemejanya, membuat bahu lebar dan dada bidangnya terlihat jelas. Terlihat gagah, hingga beberapa kali dia tersenyum melihat pantulan dirinya sendiri.
Ia tersenyum. Senyum tipis. Senyum tipis yang sejak tadi ia gunakan untuk menetralkan kegugupannya yang semakin menjadi-jadi.
Dia gugup pagi ini. Sangat gugup. Sampai ia tak tahu sudah berapa kali dia membuang napasnya agak kasar. Sudah berapa kali dia merapikan pakaiannya yang telah rapi. Dan entah sudah berapa kali, dia terpejam sembari menekan dadanya untuk meredam degup jantung yang amat kencang sekarang.
Kali ini dia berbalik, mengambil jas abu-abunya yang berada di atas kasur. Dia kenakan perlahan dan hati-hati, agar tak membuatnya kusut. Kemudian kembali bercermin untuk memastikan jasnya terpasang dengan benar pada tubuhnya.
"Fuhh!" Dia lepas napas sambil menarik bagian bawah jasnya agar semakin terpasang rapi.
Kedua sudut bibirnya kembali ia tarik. Lebih tinggi. Lebih lebar senyumannya sekarang dibanding tadi.
Tok tok!
Dia menoleh ke arah pintu kamarnya yang diketuk. Setelahnya, pintu itu terbuka dan memunculkan sosok temannya yang kini berdiri di ambang pintu dengan pakaian formal.
Temannya melempar senyum ke arahnya. Berdecak memuji penampilan dirinya, "Udah siap, Vi? Yang lain udah nunggu di bawah." Katanya kemudian.
"Gugup, Zee."
Zee kembali tersenyum. Tungkainya ia ayunkan masuk untuk menghampiri Vio yang masih berdiri di depan cermin.
Punggung tangannya, langsung ia gunakan untuk menepuk dada Vio beberapa kali. Dia juga mengusap pundak kawannya untuk memberi rasa tenang.
"Ikrar sebentar doang, Vi. Abis itu udah, bebas deh lo mau ngapain."
Vio tak menanggapi. Dia menunduk menatap sepatu hitamnya yang terlihat mengkilat. Dia rogoh saku celananya, mengambil kotak beludru berwarna merah untuk ia pindahkan ke saku jas bagian dalamnya.
Bugh!
"Jangan nangis, bego!" Seru Azizi usai memukul punggung Vio, saat mengetahui bahu temannya terlihat bergetar.
Vio mendongak. Mengangguk sambil melempar senyum serekah mungkin ke arah Zee. Menyeka air mata yang belum sempat keluar.
"Siap?" Tanya Zee.
Pertanyaan itu, dijawab Vio dengan anggukan. Setelah itu, Zee memeluk Vio sebentar lantas berlalu pergi meninggalkan Vio sendiri.
Sedang Vio, ia kembali menghela napas, sebelum melangkahkan kakinya untuk mengikuti Zee keluar. Di ambang pintu, ia sapukan pandang ke seluruh sudut kamarnya terlebih dahulu, sebelum benar-benar menutup rapat pintu tersebut.
Ia kembali terdiam di depan pintu. Memegang dadanya. Merasakan bagaimana degup jantung di balik tulang rusuknya.
Debarnya tak karuan.
"Tenang, Navio. Tenang." Ucapnya mencoba untuk menenangkan diri sendiri.
Sekali lagi dia terpejam untuk meredam rasa gugup yang belum bisa dia sembunyikan. Dia terpejam untuk mengambil napas dalam-dalam dan mengembuskannya pelan-pelan. Dia terpejam untuk sejenak berdoa, sebelum benar-benar melangkah keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...