"Dia seperti berada pada situasi asing yang menghimpit posisinya hingga dia sendiri tak tahu harus apa"
Ini seharusnya biasa saja. Seharusnya. Sebelum hal ini terjadi dalam hidupnya, dia baik-baik saja. Dia bisa melewatinya tanpa ada berat hati sedikitpun. Tapi, entah kenapa, kesendiriannya kali ini menjadi asing. Sangat asing.
Saat mata masih dalam pejampun, dia membuang napas berat ketika merasakan dinginnya sprei pada space kosong di sampingnya.
Kemarin, dirinya masih bisa mendekap tubuh padat yang hangat. Kemarin, tubuhnya masih bisa merengkuh sosok mungil untuk mencari kehangatan di antara rendahnya suhu ruangan. Kemarin, dia masih bisa merasakan embusan napas dari dengkuran lirih milik sang balita.
Hari ini, dia hanya bisa mendekap dinginnya guling dan meraba-raba space kosong yang ditinggal oleh Christy.
Aneh.
Vio merasa aneh ketika sebagian ranjangnya dingin. Sebagian ranjangnya masih rapi. Bantalnya rapi. Dan guling yang lainnya masih terdiam di ujung kasurnya, tak jatuh seperti biasanya.
Aneh. Pagi ini benar-benar terasa asing bagi Vio.
"Papi, dingin."
"Papi ayo bangun!"
"Papi, Papi! Aku mau susu."
Dia tersenyum saat teringat bagaimana pagi harinya kemarin-kemarin. Pagi harinya yang selalu berisik. Pagi harinya yang selalu dipenuhi hal-hal merepotkan. Dan pagi harinya yang selalu dipenuhi oleh kekehan dan gelengan kepala saat mendapati kejadian di luar kepalanya.
"Udah bangun belum kamu, sayang? Hari ini sekolah 'kan? Pasti kamu lucu deh pakai seragam." Monolognya.
Ingin rasanya Vio ambil ponsel lalu menghubungi Shania dan menanyakan kabar Christy. Tapi, itu tak mungkin ia lakukan.
Bukan, bukan Vio enggan menghubungi Shania. Bahkan, jika bisa, semalam ia sudah mengirimkan pesan-pesan berisi pertanyaan bagaimana Christy saat ini. Namun, dia tidak bisa. Dia tidak bisa mengirimkan pesan kepada Shania. Nomor Vio, diblokir oleh ibu anak itu. Vio tak habis pikir, ucapan Shania waktu itu benar-benar dilakukan oleh Shania. Ucapan perihal wanita itu tak memberi izin Christy untuk berkomunikasi dengan dirinya dan yang lain dalam beberapa bulan. Shania benar-benar melakukan itu. Wanita itu benar-benar tak main-main dengan apa yang ia utarakan.
Dia tak bisa melakukan apapun selain menatap foto Christy yang ada di atas nakas samping tempat tidurnya. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berdoa untuk segera dipertemukan lagi dengan anak itu.
***
Sebuah tangan kokoh terulur di depan dadanya. Dia yang baru akan menjejakkan kaki ke tanah, mendongak dan tersenyum atas uluran tangan itu.
"Makasih, mas." Ucapnya sambil meraih telapak tangan Vio.
"Aku antar sampai dalam ya?" Tawar Vio kemudian.
Chika hanya mengangguk kemudian berjalan tanpa melepas genggam tangan Vio pada jemarinya.
Sapaan demi sapaan Vio dan Chika terima sepanjang mereka berjalan dari parkiran ke hingga pelataran daycare. Orang tua anak-anak yang telah mengenal Chika sekaligus beberapa yang mengenal Vio juga, menyapa dengan ramah mereka berdua. Senyum rekah mereka lempar untuk membalas senyuman orang-orang. Anggukan kepala sampai bungkukkan badan, mereka beri untuk menghormati orang tua anak yang lebih tua dari mereka.
Sampai di teras daycare, mereka kembali disambut senyuman dari anak-anak yang belum masuk dan sengaja menunggu Chika.
"Halo tante!" Sapa beberapa anak di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...