Hanya sebuah kalimat dari yang maha ia hormati, membuat otakknya bergerak merangkai bayangan kemungkinan yang tak ingin ia jumpai.
Kini—semenjak hari pertamanya full mengurusi daycare tanpa bantuan Aya dua bulan yang lalu, ada sesuatu yang lain yang Chika rasakan setiap berada dalam kesendiriannya.
Setiap hari, entah kapan waktunya, perempuan itu selalu meminta sedikit waktu untuk tak diganggu. Perempuan itu selalu meminta izin ke para susternya untuk sejenak berdiam diri di dalam ruangannya. Ia akan benar-benar mengunci ruangannya dan menutup akses untuk siapapun yang ingin masuk.
Ia mencoba menyelami kesendiriannya itu, tentu dalam diam. Ia akan memasang pelatang telinga dan memutar lagu dengan volume cukup. Hal ini ia lakukan demi meredam suara bising dari luar. Bukan, dia bukan ingin meresapi lantunan lagu yang terputar di kesendiriannya ini, bukan. Karena, pada kenyataannya, lagu itu akan ia abaikan begitu saja. Pikirannya tak pernah ia jatuhkan untuk sekadar memerhatikan larik perlarik lirik lagunya. Ia lebih memilih melempar pikirannya untuk melamunkan hal lain dari pada menerka makna lagu yang tengah memenuhi rongga telinganya.
Kesendiriannya sekarang ini, rasanya beda. Lebih sunyi, senyap, seperti sedang berdiri di tengah-tengah ruang hampa udara. Hanya seorang diri, tapi rasanya begitu bising. Hanya seorang diri, tapi rasanya bernapas pun sesak. Hanya seorang diri, tapi ia merasa posisinya terancam oleh ribuan belati yang siapa menikamnya kapan saja.
Chika mengetahui ini akan terjadi, tapi rasanya tetap menyesakkan. Ia tak dapat mengelak meski sudah berliku-liku melakukan hal lain. Otaknya tak dapat menghindar meski sudah memikirkan hal lain.
Harusnya ini tidak menjadi persoalan lagi, dia juga telah berdamai dengan hati dan egonya. Harusnya, ini tidak menjadi persoalan lagi, jika dia tidak bertemu dengan Christy, tidak setiap hari menemani anak itu bermain ketika daycare telah sepi, tidak setiap hari membantu membunuh rasa bosan bocah itu dengan bernyanyi, hingga membuat dirinya semakin hari semakin menaruh simpati, hingga membuat dirinya menaruh atensi lebih pada Papi Christy.
Harusnya ini tidak menjadi persoalan lagi, jika Chika dapat menahan perasaanya.
Tapi nyatanya? Rasanya pada Vio semakin hari semakin bergelora. Semakin tumbuh begitu kentara. Namun, semakin sakit ia rasa. Tidak, seharusnya ini tidak sakit dan sesak jika ia menganggap rasanya pada Vio bukan suatu kesalahan. Tapi apa daya? Chika telah berulang kali meyakinkan diri kalau tidak ada yang salah perihal jatuh hati, namun tetap saja ia sulit untuk membenarkan perkara jatuh cintanya sekarang.
Ia—Cinta datang tak diminta. Hadir dengan sendirinya. Sia-sia rasanya, mati-matian Chika membatasi diri, menyuruh rasa yang baru datang itu pergi, kalau nyatanya dia datang dengan segala kuasa dan titah Yang Maha Esa untuk memenuhi rongga hati Chika yang belum terisi—seharusnya.
Sedari tadi Chika memang terpejam. Sampai sekarangpun masih. Badannya ia turunkan sedikit. Kepalanya ia pasrahkan ke kepala sofa yang ada di ruangannya. Entah kenapa hanya dengan berpikir seperti ini, rasa kantuk tiba-tiba hinggap atau memang ia sedang lelah. Ah, akhir-akhir ini, dirinya memang merasakan kalau tubuhnya itu sedang tidak baik-baik saja, mudah lelah. Banyak yang berputar dalam pikirannya, apa iya ini bisa berimbas pada tubuhnya? Chika tidak paham.
Dia mengadah langit-langit dan bertahan untuk terpejam. Napas berat ia hembuskan, membiarkan karbon dioksida dari sistem pernafasannya menguap langsung membentur atap. Telinganya masih betah ia sumpal dengan benda kecil penyalur lagu yang terputar dari ponselnya. Namun, bukan alunan nada itu yang memenuhi rongga kepalanya, melainkan kalimat dari pria yang amat ia hormati yang berdengung mengitari seluruh sudut ruang di otaknya.
Kalimat yang seakan semakin mengintimidasi waktu yang ia punya sekarang ini. Lagi-lagi, ini harusnya bukan menjadi masalah untuk Chika jika dia tidak terjerembab ke dalam pesona Vio. Jika kata Aya, manusia hanya bisa menentukan pilihan hanya pada saat mereka hidup, kenapa dia tidak bisa memilih untuk tidak tertarik pada Vio? Kenapa di saat dia ingin menentukan pilihan, dia tidak diberi kesempatan untuk hal itu?
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...