"Ada gelap yang tak bisa ia singkap. Ada alasan yang tak dia pahami. Ada rasa nyeri, ketika lonceng berbunyi tanda perjumpaan dimulai."
Langit yang gelap seperti tidak ada artinya ketika mobilnya memasuki kawasan pusat hiburan. Ingar-bingar keramaian kota menyapa pandang mereka. Tak ada sepi, tak ada yang tak tertawa. Itu yang mereka lihat. Padahal pada kenyataannya, semua itu semu.
Gadis-gadis yang berjalan di trotoar mengenakan dress indah, sepatu hak tinggi, polesan make up yang tebal, juga manik-manik yang terpasang di telinga, mereka itu, mungkin bagian dari gadis penjual air mata. Mereka, mungkin, ada yang beberapa terpaksa masuk ke dalam bar. Menghibur orang-orang kesepian demi mendapat bayaran.
Ada kegelapan yang tak bisa diraba di balik gemerlapnya lampu kerlap-kerlip dan alunan musik yang terputar.
Tawa dari setiap sudut jalan terasa begitu hambar, ketika dirinya membuka kaca mobil dan memerhatikan bagaimana muka-muka itu seketika berubah saat dipalingkan. Laki-laki atau perempuan, semua sama. Mereka yang berdiri di keramaian ini belum tentu bahagia.
Manusia memang makhluk paling sempurna dan cerdas. Termasuk cerdas dalam urusan menyembunyikan lara di balik tawa. Namun, manusia juga sering kali tak becus menyingkap sepi dalam diri. Mereka lari ke keramaian, berharap mendapat hiburan. Tapi, justru hal itu yang membuat diri semakin terasa sepi. Hingga akhirnya tak sedikit yang memilih untuk berjalan ke belakang kota. Menapaki gang-gang kecil yang gelap. Berteriak hingga puas di bawah gedung-gedung pencakar langit yang menghimpit jalan demi meluapkan semua sesak dalam dada.
Tanpa adanya pilihan, mereka kembali keluar. Menghadap hiruk pikuk kota. Berjalan dengan mantap, ke toko untuk menjual air mata mereka.
Setidaknya itu yang Vio bayangkan, saat melihat gadis-gadis ber-make up tebal, setebal topeng kehidupan yang mereka gunakan. Ada rasa iba, ketika beberapa dari mereka, Vio lihat seperti masih usia belia.
"Nama Bar-nya apa, Vi?" Febi yang ada di belakang, bertanya sambil terus membaca beberapa bar yang terlihat dari jangkauan matanya.
"Lalasa." Itu Zee yang menjawab setelah menunduk membaca kartu nama Ibu Christy.
"Kaya restoran anjir namanya!" Febi mengomentari dengan nada sedikit mencibir.
"Menyamarkan mungkin." Terka Vio.
"Haha," Zee tertawa mendengar ucapan Vio. "Buat apa sih, Vi? Ini kawasan juga hampir kaya gitu semua. Kata gue, biar gampang diinget aja sih ini. Sama buat narik pengunjung. Bener kata Febi, kaya nama restoran. Biar orang-orang baru penasaran, dikiranya restoran, terus masuk, terus.... Ketagihan!"
"Hahahah." Tawa Zee meledak. Febi berdecak. Sedang Vio hanya tersenyum sambil terus mengamati papan nama toko-toko pinggir jalan.
"Tanya aja apa ya? Kita kudu balik dulu 'kan, mandi ganti baju." Febi memberi ide.
"Oh iya ya, gue turun deh, gue tanya." Zee menawarkan diri.
Vio menepikan mobilnya di pinggir jalan. Dia dan Febi membiarkan Zee keluar sendiri untuk bertanya dan hanya mengamatinya dari dalam. Mereka mengamati bagaimana temannya itu melakukan aksi sedikit menggoda ketika bertanya.
Lagi-lagi Febi berdecak, "Gue rekam, gue kasih ke Lala, wasalam dia."
Vio menertawakan ucapan dan mimik muka Febi yang terlihat kesal, "Haha, besoknya dia check in hotel di Aokigahara."
"Meratap dulu di sana sebelum eksekusi diri."
"Amit-amit, Feb."
Tak lama, Zee kembali masuk, membuat Febi dan Vio menghentikan percakapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
FanfictionKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...