"Manusia cenderung selalu mempertahankan apa yang menurutnya benar. Tapi jelas itu pilihannya. Orang lain hanya berhak memberi masukan, bukan menghakimi apa yang diyakini yang bersangkutan."
Tidak pernah ada yang baik-baik saja, ketika menjumpai suatu hal yang menyayat hati. Keinginannya untuk berjumpa, memberi salam sapa, menerima peluk hangat, dan kecupan di setiap wajah—khas orang yang telah lama tak bersua— runtuh begitu saja. Angan dan harapannya, diruntuhkan oleh kenyataan yang baru saja dia jumpai. Harapannya, menguap menyisakan sakit di hati.
Semenjak Chika meminta dirinya untuk menarik tuas rem motor, dadanya sudah berdebar. Pikirannya sudah tak karuan. Ada rasa tak ingin percaya. Tapi kenyataan mendobrak itu semua. Maka, ketika dia telah tiba di hadapan nenek Chika, dirinya hanya bisa tertegun tak percaya. Alih-alih langsung mendekap tubuh wanita tua itu—seperti dalam harapnya— dia malah terus memandangi Chika dengan tatap tak percaya. Dengan tatap yang terus menuntut penjelasan lebih lanjut.
Tapi, tak ada penjelasan dari perempuan itu. Tak ada kata yang keluar dari mulut Chika. Hanya rekah senyum yang Chika lempar dan usapan lembut pada lengan tangannya.
Hingga akhirnya, dia harus menutup mata cukup lama, untuk meyakinkan bahwa yang dihadapinya adalah kenyataan. Kenyataan yang membuat hatinya berat, membuat dadanya sesak, membuat dirinya harus menarik napas dan menghembuskannya panjang.
"Kamu selalu cerita, seolah nenek masih ada." Katanya setelah bermenit-menit tadi, tertunduk merapal doa di depan pusara.
"Aku pengen kamu ngerasa begitu kak."
Zahrain mengeraskan rahang, "Nyakitin, Chika." Lirihnya sambil menunduk.
"Aku udah berharap bisa peluk nenek. Makasih sama nenek. Bilang dan yakinin nenek kalau aku baik-baik aja." Lanjutnya masih dalam tunduk.
"Om Al kok nangis? Om sedih ya?"
Al tak bisa tak mengangkat kepalanya kala balita yang sedari jongkok di sampingnya melemparkan pertanyaan. Dia hanya bisa menjulurkan tangan untuk mengusap kepala Christy. Dia hanya bisa melempar senyum terpaksa ke arah anak itu.
Kemudian, dia mengangkat Christy dari acara jongkoknya. Membawa anak itu untuk duduk di atas kakinya yang bersila. Tak ada kata yang terucap dari mereka semua. Hanya ada keheningan saat kepala mulai kembali tertunduk.
Bahkan, balita yang selalu mengeluarkan ocehan dari bibir mungilnya, seolah dibungkam oleh angin yang berhembus dingin.
Mata Christy ikut terpejam. Kedua tangannya mengatup di depan dada. Tapi bibirnya diam, tidak bergumam.
Chika yang terlebih dahulu membuka kelopak matanya, tersenyum sambil membelai kepala Christy.
Tapi senyum itu berangsur pudar, kala mengingat apa yang Vio ucapkan minggu lalu.
Dia masih ingat, bagaimana sorot mata Vio saat menatapanya, saat meminta persetujuan atas ucapan yang Vio lontarkan. Sorot mata yang begitu menyakitkan hati Chika. Sorot mata penuh harap, agar Tuhan mengabulkan inginnya.
"Christy anak aku 'kan, Chik? Dia enggak bakal pergi 'kan? Iya 'kan? Kamu mau ya jadi Maminya?"
Kalimat yang Vio terus ulang-ulang saat kembali dari makam.
"Ah iya, nanti aku beli rumah ya. Kita tinggal bertiga bareng. Nanti aku bikin ruang main yang gede buat Christy biar dia seneng. Biar dia betah sama aku. Christy punya aku 'kan, Chik?"
Chika memejamkan matanya lagi. Rasa sakit seketika menyembul saat mengingat tuturan Vio. Dadanya terasa perih saat mengingat air mata prianya itu luruh hingga membuat kotor pipi.
KAMU SEDANG MEMBACA
GREEN FLASH WITH CHRISTY (SELESAI) ✔
Fiksi PenggemarKetika waktu melepas telah tiba. Ketika itu pula, cinta mengakar di antara mereka Lalu apa yang harus mereka lakukan? Di saat itulah, Yessica Arkadevna dan Navio Sastradipraja Alfadrun harus memikirkan jalan keluarnya sembari mencipta bahagia untuk...