Hari ini, Tuhan memberi tahu padaku. Kalau rasa itu tak harus disampaikan lewat kata dan suara, tetapi mata. - Michel Granata Adisty.
***
"Dari mana saja kamu?" bentak Doni, lantang.
Keduanya saling beradu pandang, cowok yang baru saja pulang ini diam membisu dengan menahan emosi.
"Bertemu cewek itu lagi?" Doni bersuara lagi.
Tatapan Leon semakin tak bersahabat, napasnya mulai terengah-engah. Sebisa mungkin ia menahan emosinya agar tidak melawan papanya.
"Jawab!" Doni berdiri dari duduknya, ingin menghampiri Leon tetapi cowok itu sudah dulu menjawab dengan saudara berat.
"Kenapa, Pa?"
Karena mendengar suara gaduh di ruang depan, Tia yang asalnya berada di dapur langsung lari mengeceknya. Lantas, wanita penyayang itu langsung berdiri di samping anaknya.
"Ada apa ini?" Tia masih takut, karena dari sejak Leon menginjak usia 12 tahun, suaminya itu berubah sikap kepada anaknya.
Doni menatap tajam istrinya, mengisyaratkan agar tidak ikut campur.
"Mama lanjut aja masaknya," ujar Leon halus pada mamanya.
"Tapi Sayang ... " Leon meyakinkan Tia kalau dirinya akan baik-baik saja dengan tatapan yang penuh keteduhan. "Baiklah."
Setelah ragu-ragu untuk meninggalkan kedua orang itu, akhirnya Tia kembali ke dapur melanjutkan masaknya meskipun masih takut terjadi sesuatu sama mereka.
"Leon, kalau kamu masih berhubungan sama gadis urakan itu ... kembalikan ginjal saya, juga mama kamu!"
Deg!
Tentu dia merasa terpukul, papanya benar-benar berada diluar pikiran. Ia memang seharusnya tak berada di dunia ini, kalau dia tak mendapatkan ginjal kedua orang tuanya.
"Kenapa kamu diam?" Doni tersenyum miring, merasa menang.
Leon masih diam, ia harus menjawab apa?
Kali ini papanya menang, ia memang bergantung hidup dengan organ milik kedua orang tuanya. Tetapi, apakah seharusnya orang tua seperti itu pada anaknya sendiri?
Lalu, hanya demi perjodohan ini, Doni rela menyakiti hatinya?
"Kalau kamu gak bisa jawab, ikuti kemauan papa!" Doni berjalan santai mendekati Leon, lalu menepuk pundak anaknya dengan maksud tertentu. "Tinggalkan gadis itu, lalu bertunangan lah sama Gabriel?!"
***
Di lain tempat, gadis bersaudara kembar ini sedang memasak. Grana yang tadinya malas ingin membeli makanan saja, akhirnya ikut adiknya masak. Karena yang ia lihat, Gabriel tak pandai di dapur.
"Kak, aku mau kita selalu akur kayak gini ya?" Gabriel mencoba mencari topik pembicaraan, karena memang ini yang ingin ia sampaikan.
Grana masih diam, sibuk menumis kangkung. Karena ini adalah salah satu masakan favoritnya dengan Gabriel, tidak tahu kenapa bisa memiliki kesukaan yang sama. Mungkin, karena genetik.
"Akur?" Grana menunjukkan tak begitu menggubris perkataan adiknya, walaupun sebenarnya iya. Gabriel mengangguk, lalu mulai menata meja. "Gak usah seneng dulu, Lo!" Lanjut Grana, dengan suara ketus.
Cewek berponi itu langsung menekuk wajahnya, sedikit tersenyum miris.
"Kenapa kakak gak bisa baik sama aku, katanya kakak udah maafin aku?" Grana menatapnya sekilas, lalu melanjutkan kegiatannya memasak daging.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Bad Girl [TAMAT]
Teen Fiction"Gue mau temenan sama Lo, boleh gak?" ujarnya, membuat Grana tertawa. "Yakin Lo? Gue jahat, gue bukan cewek dan temen yang baik buat Lo! Mending cari temen lain aja!" balas Grana, ia sadar diri ia siapa. - "Kamu!" Satu tamparan keras melayang lagi...