Bersamamu, berasa mengukir senja di langit mendung. Tak terarah, tertutup oleh kabut yang tebal. Seperti rasamu, yang tak mungkin untukku. - Michel Granata Adisty.
°°•°°
Cewek yang mengenakan jaket jeans hitam jumbo itu mulai mengerjapkan matanya, kepalanya sangat pusing. Ia belum ingat semuanya, dia mengenali tempat ini.
Grana sudah benar-benar membuka matanya, dan terlihat seorang gadis berponi duduk di samping ranjangnya.
"Ngapain Lo?" ketus Grana spontan, dari dulu ia tak pernah mengijinkan Gabriel untuk masuk kamarnya. Boro-boro masuk, bicara saja seperti bersama musuh. Iya, Gabriel memang musuh dalam selimut.
"Kakak jangan banyak gerak dulu, kepala Kakak masih pusing kan? Istirahat dulu aja!" Gabriel tidak menanggapi pertanyaan Grana tersebut, ia malah terlihat sok khawatir.
Halah, Grana memutar bola matanya malas.
"Keluar Lo dari kamar gue, emangnya gue pernah izinin Lo masuk?" Gabriel menunduk sempurna, sembari berdiri. Kata-kata Grana selalu membuatnya merasa iba, Grana berperilaku seperti itu juga karena dia. "Dan buat cowok Lo, gak usah sok peduli sama gue. Itu cuman suruhan Lo kan? Halah, basi!" imbuh Grana, membuat Gabriel semakin tertekan.
"Tapi Ka---"
"Keluar, Gab!"
***
Seperti kebiasaannya selama ini, menatap langit malam yang begitu menenangkan adalah suatu kebiasaan yang tidak bisa ditinggalkan oleh Grana. Ia selalu duduk di balkon kamar, membiarkan rambut bergelombangnya terombang-ambing oleh angin malam.
Menatap benda langit yang bersinar redup, karena malam ini dihiasi oleh mendung sebagian. Ia selalu berharap, agar sang bintang bisa menjadi temannya. Karena hanya mereka, yang menemaninya selama ini.
Waktu kecil, neneknya pernah bercerita. Bahwa jika takdir hidupmu terasa suram, kau bisa menjadi seperti bintang. Selalu bersinar, walaupun kadang mendung selalu menyelimutinya.
"Andai gue bisa di sana, gue capek di bumi. Apa mungkin kalau gue pergi nanti, gue bakal bisa bertemu nenek di sana?" Grana memejamkan matanya sejenak, rasanya ia enggan membuka mata.
Kehidupannya begitu pahit, suram dan sangat kelam. Tiada kebahagiaan, ia hanya ingin merasakan kenyamanan bersama orang yang ia sayangi sebelum ia pergi.
"Gue bukan manusia sekuat itu, Tuhan. Gue capek hidup kek gini, tapi apa bisa gue lakuin kalau takdir emang seperti ini?" Grana menunduk, matanya perih. Berkaca-kaca, dan jatuhlah satu tetes air mata berharga itu. Ia selalu terpuruk namun, tiada orang yang tahu.
Angin semakin tertiup kencang, membuat kulitnya terasa sangat dingin. Malam pun sudah hampir larut, ia memutuskan berdiri dan ingin kembali ke kamarnya.
Namun, baru saja ia berbalik ada suara dari bawah balkon. Grana kembali, cewek dengan kaos jumbo hitam polos itu menengok ke bawah.
Ia menatap tajam orang itu, ngapain di sana?
"Udah malem, Lo tidur!" Leon, cowok itu ada di bawah sana.
Grana mendelik, mencoba agar seolah-olah tak menganggap ada keberadaan cowok itu.
"Lo tuli?" Leon semakin keras berteriak, membuat Grana terkekeh. Ada perasaan bahagia, tetapi ia yakin Leon ke sini karena Gabriel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Bad Girl [TAMAT]
Teen Fiction"Gue mau temenan sama Lo, boleh gak?" ujarnya, membuat Grana tertawa. "Yakin Lo? Gue jahat, gue bukan cewek dan temen yang baik buat Lo! Mending cari temen lain aja!" balas Grana, ia sadar diri ia siapa. - "Kamu!" Satu tamparan keras melayang lagi...