[13]

365 45 0
                                    

Meskipun itu perhatian kecil, tetapi sangat berharga bagi gue. Tapi gue takut, kalau itu bukan dari Lo. - Michel Granata Adisty.

***

Sedari tadi, cewek bermanik hitam itu hanya diam tak berkutik dari balkon kamar. Yah ... seperti sebelum-sebelumnya, ia selalu merasa tenang di sini. Ia hanya selalu berharap, akan takdir Tuhan yang membuatnya tersenyum. Bukan senyum palsu, melainkan kebahagiaan bersama orang yang ia sayang.

Gabriel mengetuk pintu kamar kakaknya dengan gemetar, ada rasa bersalah juga. Tetapi harapannya, dengan seperti ini Grana bisa bahagia.

"Kak? Aku boleh masuk?" Gabriel mengetuk beberapa kali, namun tak ada jawaban.

Seharusnya ia juga ingat, jika kakaknya tidak pernah mengizinkannya masuk. Namun, ia memberanikan diri. Ia khawatir dengan kondisi kakaknya, ia takut Grana kenapa-kenapa.

"Kak? Aku pengen ngomong sama Kakak!"

Masih tak ada jawaban, Gabriel mendengus kecil. Dengan hati-hati, walaupun ini lancang namun, ia berusaha berani. Ia membuka pintu dan masuk tanpa seizin Grana, meski ia yakin kakaknya akan marah mungkin.

Di sudut ruangan terbuka ini, Grana menatap bawah. Ia menggelantungkan kakinya melewati sela pembatas balkon, berusaha menetralkan rasa sakitnya. Kali ini, ia sakit tak hanya hati. Mungkin, penyakitnya kambuh.

Seorang gadis memakai sweater rajut putih itu tiba-tiba duduk di samping Grana, jelas sang pemilik kamar terlihat sinis memandangnya. Baru saja ia sedikit tenang, kenapa cewek itu datang lagi?

"Maaf Kak, aku ... "

"To the point! Maksud Lo apa, nyuruh gue sama 'dia pacaran?" Grana tidak mengerti jalan pikir saudari kandungnya ini.

Gabriel menunduk rendah, ia bersyukur setidaknya kakaknya tidak mengusirnya. Grana juga tahu, kalau Gabriel sebenarnya adalah cewek yang baik-baik. Ia tahu persis bagaimana sifat Gabriel, meskipun selama ini mereka dibeda-bedakan dan tak pernah bisa akur.

"Kak, aku tau Kakak suka kan sama Leon?" Grana masih menatapnya datar. "Dari tatapan Kakak aja aku udah tau, aku cuman pengen Kak Grana kembali seperti dulu waktu kita kecil. Sebelum semuanya ... "

"Gue tau, maksud Lo buat minta maaf?" Grana masih bersikap dingin bahkan, dengan menahan perutnya yang terasa sangat nyeri.

Gabriel mengangguk samar, takut Grana memarahinya lagi.

"Tapi percuma Gab, ini paksaan. Kalo Lo mau sama dia ya gih, itu hak Lo. Gak usah maksa-maksa gue jadian sama dia, Lo juga mau kan sama Leon?" Grana tahu jika selama dua tahun ini tidak mungkin Gabriel tidak menyimpan perasaan kepada cowok itu, meskipun ia mengerti jika mereka tidak pernah pacaran.

Grana juga bingung, atas kedekatan mereka. Selalu bersama, berangkat sama pulang bareng. Bahkan, itu melebihi orang yang sedang menjalin kasih.

"Tapi aku harap Kakak bisa maafin aku dengan cara ini, maafin aku yang udah buat Kak Grana kek gini." Gabriel mulai tersedu, ini yang Grana tidak sukai. Cewek itu cengeng, sedikit-sedikit nangis.

Ya, ia juga tahu kalau dirinya juga sering menangis. Namun, apa tidak bisa tidak usah secengeng itu?

"Itu gak cukup Gab, sebenarnya bukan salah Lo. Ini salah paham, tapi gue tetep gak bisa gak ngebenci Lo." Dengan sesak, Grana mulai mengingat kejadian disaat ia selalu sendirian sejak usia 7 tahun. Ia hidup penuh dengan siksaan batin, sebelum akhirnya ia mengetahui penyakitnya dan tanpa sepengetahuan orang tuanya.

Karena mungkin, jika mereka tahu ia sakit pun, itu tiada arti.

"Kenapa Kak? Apa gak bisa bersikap lebih baik sedikit sama aku? Aku pengen baikan sana Kakak," lirih Gabriel, dengan tubuh gemetar.

Just Bad Girl [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang