Kapan senja hadir tanpa kabut lagi, gue kangen. Di mana sinarnya terpancar sempurna, seperti halnya hati gue. Yang pengin kembali ceria. - Michel Granata Adisty.
***
Rehan dan Reno berlari dari kantin menuju lapangan, untuk menyambut sahabatnya yang kini pasti kehausan. Dengan kepekaan yang luar biasa, mereka membelikan Roy minuman dingin.
"Brader, gue bawain minuman buat Lo!!" Reno yang notabenenya bertubuh besar kini berlari, membuat Rehan bisa mendahuluinya. "CK! Gue duluan Han!" Reno kesal.
Dengan muka yang biasa ia pakai, Roy menatap datar kedua sahabatnya. Mereka memang konyol, mungkin hanya dia yang sangat kaku di antara mereka.
Dengan langkah santai, cowok berbibir tipis itu duduk di depan ramainya cewek-cewek yang tadinya mendukung SMA ini. Roy duduk di sisi lapangan, tepatnya pada kursi kayu bawah pohon mangga itu.
"Gak usah repot-repot." Singkat, ujar Roy yang biasa mereka dengar.
Rehan terhenti dengan napas yang ngos-ngosan, disusul oleh Reno yang langsung menabrak tubuh Rehan sampai mental.
"CK! Lo tau gak sih, Lo itu besar Tong!" cibir Rehan, sangat kesal. Susah payah ia berdiri tegak, dengan lincah melemparkan sebotol minuman dingin pada Roy.
"Gitu amat Lo sama gue Han, gue langsing begini dibilang besar. Jahat Lo," cicit Reno, sebal.
"Daripada gue fitnah Lo kurus, kan bingsit namanya." Yang mendengar percakapan konyol mereka pun ikut tertawa, kecuali Roy. Ia selalu tenang, kalem dan tentunya, cool.
Roy mengedarkan pandangannya ke seluruh area lapangan, ia tak melihat seseorang yang ia cari dalam diam. Dengan santai, ia berdiri. Rega dan Reno sampai tak sadar jika dirinya sudah melangkah meninggalkan mereka, cowok itu sedang dalam pikirannya sendiri. Dia tidak mudah ditebak namun, sangat bisa menebak.
"Loh, Roy mana Han?" Rehan yang ditanyai Reno malah menggeleng, keduanya celingukan
"Aelah, gara-gara Lo kan Tong!"
***
Baginya, kesendirian adalah waktu yang sangat berharga. Bukan ia tidak ingin berada di dalam keramaian namun, saat berada di sana ia tidak akan terlihat. Ia tak pernah dianggap, bukankah lebih baik seperti ini?
Grana kembali ke sini, atap sekolah. Matanya menangkap beberapa cowok-cowok yang sedang main basket lagi-lagi, padahal baru saja selesai pertandingan. Di sana, ada juga Leon. Grana tak habis pikir, kalau cowok itu tadi sok peduli. Ia harap barusan adalah benar-benar perhatiannya namun, itu tidak mungkin.
"Kapan gue bahagia? Gue selalu tersiksa tuhan, sampai kapan gue bisa bertahan?" Air matanya hampir jatuh, mengenai hati dan batin, ia tidak mampu membendung sesaknya. Untuk fisik, mungkin bisa dibilang tidak 'baik-baik saja.
Tidak sengaja, tatapannya bertemu dengan milik Leon yang sedang istirahat. Lagi-lagi, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Cowok itu malah memelototinya, namun ia berusaha untuk tidak menghiraukannya.
Ting!
Bunyi notifikasi dari gawai silver miliknya, dengan segera cewek itu mengambilnya. Dilihat pada layar ponsel itu, langsung melihat ke bawah. Ternyata itu pesan dari Leon, mungkin Gabriel yang sudah memberi nomor wa-nya.
|Turun sekarang, Lo belom makan. Turun atau gue laporin ke BK?|
Grana berdecak sebelum akhirnya mengalah, ia turun atas perintah dan ancaman cowok itu. Tak peduli untuk membalas pesannya lagi, yang jelas ia muak.
Dengan langkah gusar, Grana menuju taman belakang sekolah bukannya masuk ke kelas. Ia bosan, mungkin juga Nasya sedang mencarinya. Namun, ia segera mengirimkan pesan pada sahabatnya itu agar tenang dan tidak khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Bad Girl [TAMAT]
Teen Fiction"Gue mau temenan sama Lo, boleh gak?" ujarnya, membuat Grana tertawa. "Yakin Lo? Gue jahat, gue bukan cewek dan temen yang baik buat Lo! Mending cari temen lain aja!" balas Grana, ia sadar diri ia siapa. - "Kamu!" Satu tamparan keras melayang lagi...