Takdir Tuhan tidak pernah salah, hanya saja mungkin kita sedang diuji agar lebih kuat lagi. - Michel Granata Adisty.
***
"Sayang?"
Grana langsung menoleh, dengan tangannya masih sibuk mengupas kulit bawang merah.
"Iya Tan?" Tia menatapnya berbeda, membuatnya sedikit tegang.
"Kamu saudara kembarnya Gabriel, ya?" Terlihat dari matanya saat menyebut nama Gabriel tidak suka, itu pun ia hati-hati.
Cewek itu lantas menautkan kedua alisnya, pastinya mamanya Leon memang tahu. Karena mungkin Gabriel pernah diajak Leon ke rumahnya, dan tentu dari wajah mereka.
"Iya Tan," balas Grana, seadanya.
Tia menganggukkan kepalanya mengerti, karena ia tidak terlalu suka dengan Gabriel, dan itu dari sifatnya. Menurutnya, Gabriel memang sopan, tetapi ia tak suka karena terlalu pendiam.
"Oh, ya udah. Gak apa-apa kok, cuman mastiin. Kalian mirip soalnya hehe," cetus Tia. Masih setia dengan sayur di depannya yang masih di atas kompor gas.
Benar dugaan Grana, pasti Tia pernah melihat saudaranya. Tetapi dari wajahnya, ia melihat kalau mama Leon tak begitu menyukai Gabriel. Ia bingung, antara ingin bertanya alasannya atau tidak.
"Emm, Tante?" Kini ia memasukan bumbu ke dalam sayur, lalu meletakkan kembali peralatan seperti pisau dan lainnya ke tempatnya semula.
Tia berdehem menjawabnya, karena ia sibuk dengan masakannya.
"Kenapa Tante baik sama Grana, kan Grana anaknya bandel loh," ujar Grana, dengan nyengir kecil.
Sekarang, gadis itu sedang menata meja yang akan dipakai makan siang mereka.
"Gak ah, kamu asyik kok. Gak pendiem, kayak sodara kamu. Sifatnya beda banget deh," balas Tia yang kini duduk di kursi meja makan.
Grana sedikit tersenyum, tetapi ia mengerti. Jadi, alasan Tia tak menyukai Gabriel karena seorang pendiam.
"Oh, gitu ya Tan. Dia baik kok Tan, malah lebih baik dari Grana," jujur Grana.
Tia menatapnya diam, takut sedikit menyinggung. Ia tak ada niat menjelek-jelekkan adiknya, karena ia jujur.
"Udah ah, Tante sayangnya sama kamu kok." Tia tersenyum manis, wanita setengah baya itu menatapnya teduh. Membuatnya merasa nyaman, karena terakhir ia merasakan tatapan seperti ini dari mamanya adalah ketika ia berusia 6 tahun.
"Hehe, makasih Tan. Grana seneng, Tante Grana anggap orang tua sendiri."
Dalam hati, ia tersenyum miris. Tentu ia bahagia, ada dua orang tua yang ia anggap keluarganya sendiri. Keluarga Nasya, dan mama Leon. Mereka berarti bagi Grana, karena mama sama papanya sudah tidak menganggapnya ada lagi.
***
"Jangan bilang, Papa mau bahas kayak biasanya." Leon duduk di sofa depan papanya, mereka kini berada di tuang keluarga yang khusus.
Tatapan keduanya bertemu, Doni masih diam. Keduanya memainkan ponsel, lalu menaruhnya lagi dan fokus menatap anak satu-satunya ini.
"Tidak, papa gak akan bahas perusahaan." Pria berjenggot tebal ini membenahi duduknya. "Gabriel lebih baik dari saudaranya," ujarnya.
Leon terkejut, karena ternyata papanya ingin membicarakan kehadiran Grana. Setahunya, Doni setuju atas kedekatannya dengan Gabriel.
"Leon punya pilihan sendiri Pa," balas Leon, dengan tenang. Namun, hatinya kini merasa akan ada masalah baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Bad Girl [TAMAT]
Teen Fiction"Gue mau temenan sama Lo, boleh gak?" ujarnya, membuat Grana tertawa. "Yakin Lo? Gue jahat, gue bukan cewek dan temen yang baik buat Lo! Mending cari temen lain aja!" balas Grana, ia sadar diri ia siapa. - "Kamu!" Satu tamparan keras melayang lagi...