Disaat satu kebahagiaan datang padaku, ternyata masih ada luka baru yang menyapaku. - Michel Granata Adisty.
***
Matanya tak mau tertutup juga, sedari tadi masih belum terlelap dalam tidurnya. Padahal, ia sudah mengantuk juga. Mulutnya pun tak berhenti menguap, tubuhnya sudah tertutupi oleh selimut tebal.
Grana menggaruk-garuk sikunya yang tak gatal, ia menengok jam dinding yang ternyata baru pukul setengah 9 malam. Ia merasa haus, dengan malas ia turun dari ranjang lalu memakai sendal lantai.
Cewek bertatapan tajam itu berjalan lunglai menuju dapur, yaitu menuruni anak tangga. Batu saja sampai di bawah tangga, ia mendengar seseorang akan menuju ke dapur pula.
Dua detik kemudian, Gabriel muncul di hadapannya. Tentu saja, Grana menatap adik kandungnya itu.
"Kakak, kebetulan aku mau --- " Gabriel menutup kembali mutunya, karena Grana malah nyelonong meninggalkannya begitu saja. Ia mendengus pelan, lalu menempelkan kembali benda pipih itu di telinganya.
Grana yang merasa haus, lebih mementingkan dirinya. Dengan segera ia menuju dapur dan mengambil sebotol air dingin di kulkas, setelah merasa cukup ia mengembalikannya dan menutup kulkas lagi.
"Bentar Ma, kakak lagi minum." Gabriel yang melihat pergerakan Grana di dapur, segera menjawab pertanyaan mamanya.
Gabriel menyanggah Grana saat ingin melewatinya, tentu cewek itu bertatapan tak suka.
"Kak, mama pengen ngomong," ujar Gabriel.
Tanpa basa-basi, Grana menyahut gawai hitam milik Gabriel dari tangan cewek itu. Lalu menempelkannya di telinga, tentunya disertai rasa malas.
"Apa Ma?"
'Gimana kamu?'
"Apanya yang gimana, Ma?" Dengan rasa sedikit senang, karena baru kali ini mendengar mamanya menanyakan tentangnya.
'Kamu selalu ingetin adikmu buat minum obat nggak, malah nanya.' Sudah Grana duga, seketika hatinya merasa tercoret lagi. Perih namun, ia tahu jikalau itu tak akan ia perlihatkan.
"Oh ... dia udah gede Ma, udah tau sendiri. Mama mau marah? Silahkan, Grana udah biasa kok. Kalau mau ngomong Grana anak yang gak tau diuntung, ya terserah anggapan Mama. Grana capek!" Dengan sarkas, Grana memberikan ponsel itu pada Gabriel kembali.
Hatinya terasa pedih, ia juga mendengar penuturan papanya yang tiba-tiba menyela pembicaraan. Jujur saja, ia ingin menangis kalau saja tadi tidak ada Gabriel. Ia baik pun, di mata mereka selalu salah.
"Gak kok Ma, kakak selalu ngingetin Gabriel minum obat. Kakak baik sama Gabriel, malah Gabriel yang jarang peduli sama kakak. Ya udah Ma, Gabriel pengen tidur. Assalamualaikum, Ma!" Karena merasa tidak enak hati dengan kakaknya, Gabriel segera memutus sambungan telepon itu.
Matanya mengintai ke lantai atas, menatap pintu kayu di lantai dua yang terdapat nama 'Granata' di atasnya.
"Maaf kak, aku selalu bikin kakak sedih."
Di tempat yang tak jauh dari Gabriel, gadis dengan mata yang sudah memerah kini meneteskan air matanya di belakang pintu. Hatinya begitu sakit bahkan, untuk menanyakan kabarnya saja tidak pernah. Mungkin, ia buka anggota keluarga Hadinata.
"Gue salah apa ya Allah, kenapa seberat ini sih ujian yang Kau berikan? Grana capek, geram agak kuat." Gran ayang sekarang sedang duduk bersimpuh di belakang pintu, sambil menekuk lutut dan memeluk tubuhnya sendiri.
"Hiks ... Grana," letih Grana. Ia tak bisa melanjutkan keluhnya, ia terlalu capek dan lelah.
"Boleh gak, Tuhan ambil Grana aja? Kalau Grana hidup, semuanya bakal sama. Sama-sama menyakitkan," lirih Grana, air matanya terus mengalir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Bad Girl [TAMAT]
Teen Fiction"Gue mau temenan sama Lo, boleh gak?" ujarnya, membuat Grana tertawa. "Yakin Lo? Gue jahat, gue bukan cewek dan temen yang baik buat Lo! Mending cari temen lain aja!" balas Grana, ia sadar diri ia siapa. - "Kamu!" Satu tamparan keras melayang lagi...