Yang pergi belum tentu tak akan kembali, tetapi jika dia meninggalkanmu tanpa pamit. Kemungkinannya ada dua, antara agar kamu tak sakit hati atau dia sudah tidak butuh kamu lagi.
***
"Yahhhh, jam 9 lewat jauh." Gabriel yang kesal dengan dirinya sendiri pun tak bisa berbuat apa-apa, nyatanya dia tidak bisa bertemu kedua kakaknya sekarang. "Kak jangan tinggalin gue," lirih Gabriel, tak terasa kedua matanya mengalirkan buih air bening.
Brukh
Kedua lututnya lemas, kenapa kemarin mama papanya tak memberitahunya? Apa dilarang kedua kakaknya untuk memberitahu, atau kenapa?
"Gue benci diri gue sendiri, gue jahat banget sih ah." Gabriel menjambak rambutnya, tak peduli dengan orang-orang di sekitar yang menatapnya aneh.
"Lo nggak jahat," ujar seorang cowok yang menahan tangannya agar tak melanjutkan aksinya menjambak rambutnya sendiri. "Lo cewek baik, makanya gue sayang sama Lo."
Suara serak berat itu menghentikan kegiatannya, matanya tertarik untuk melihat siapakah cowok itu. Kepalanya sedikit terangkat, dan benar saja jika di depannya itu adalah Gerry.
Senyuman manis menyambut mata Gabriel yang memerah, itu membuatnya sedikit tenang.
"Ayo bangun!" Gerry berusaha menanting Gabriel.
Grep
Tangisannya mulai menjadi-jadi, tetapi ini sedikit memenangkannya. Karena Gerry membalas pelukan cewek itu, mungkin ia tahu jika Gabriel butuh sandaran kali ini.
"Nangis aja, kalo bikin Lo tenang. Gue siap jadi sandaran Lo Gab, gue siap."
***
"Loh, Leon?" Nasya menatap aneh pada cowok yang berjalan ke arah mereka yang masih berlari. "Kok muka Lo ditekuk gitu sih, Grana mana?"
Leon terdiam, matanya seakan sudah menceritakan pada Nasya bahwa Grana sudah dalam perjalanan menuju Jepang.
"Leon jawab gue!" Nasya mencegat langkah Leon dengan muka panik.
Reno dan Rehan menyimak di belakang Roy juga Nasya yang tengah menanyai Leon.
"Dia pergi."
Singkat, tetapi begitu menusuk.
"Please don't lie to me! Leon, to be honest!" Entah, Nasya harap Leon itu berbohong. Ia tak mau kehilangan sahabatnya, tidak boleh.
"Gue gak bohong!!!" Saking gregetannya, hingga muka Leon memerah padam. "Dia udah terbang 5 menit yang lalu!" Leon menghempaskan cekalan tangan Nasya di lengannya, ia buru-buru meninggalkan tempat itu.
Ketiga cowok di belakang juga tak kalah terkejutnya, bagaimana pun Grana adalah salah satu bagian dari mereka selama SMA.
"Nasya," panggil Roy pelan.
"Gak Roy, masa gue harus pisah jauh sama Grana? Ya gak mau lah, dia tuh butuh temen. Dia tuh harus dijagain, dia cuman ceritain masalahnya sama gue. Kalau dia jauh dari gue, terus dia cerita sama siapa hah?" Nasya sepertinya frustasi, emosinya naik.
Roy maju dan memeluk tubuh Nasya dengan erat, agar cewek itu tidak terlalu parah.
"Kita di sini juga merasa kehilangan dia yang pergi jauh, bukan Lo doang. Jadi tenang dulu, kita masih bisa bertemu dia kok." Roy berusaha menenangkannya, sebetulnya ia juga sakit hati.
Mengapa Grana tak memberitahunya ataupun yang lain jika mau pergi jauh?
"Gue sedih Han," ujar Reno murung.
"Gue juga sedih kali Tong, ah. Gue peluk Lo ya?" Reno mengangguk saja, kini mereka saling berpelukan. "Semoga nanti dia gak lupain kita ya Tong," harap Reno
Nasya sudah sedikit tenang, pelukan dari Roy sungguh luar biasa. Ia sangat nyaman dengan ini, tetapi matanya masih saja menangis.
"Pulang yuk Roy!" Ajak Nasya, merenggangkan pelukannya.
"Udah sedihnya?" Roy menatap gadis yang masih dalam pelukannya ini, matanya sangat cantik meskipun berlinangan air mata. Nasya menggeleng, bagaimana bisa secepat itu. "Ya udah ayok."
"Pulang Roy?" Roy hanya mengangguk.
"Iyalah, masa Lo mau nginep di sini Tong." Rehan melepaskan tubuhnya dari badan besar Reno. "Ayok balek!" Rehan mendorong tubuh Reno, meskipun keberatan.
***
Malam ini, tubuh gadis manis itu terasa sangat lelah. Mungkin karena perjalanan yang ditempuh sangat lama, hampir 8 jam ia dari Indonesia ke Tokyo sangat menguras tenaganya.
Kamarnya sudah tertata rapi, karena pembantu Daren sudah menata barang-barang yang ia bawa. Bahkan, semuanya sudah siap ia gunakan.
Tok! Tok!
"Siapa?"
"Kakak boleh masuk?"
Ah, rupanya Daren yang ada di luar. Grana bangkit, dan menyender di kepala ranjang.
"Masuk aja kak!"
Daren berhenti sebentar setelah membuka pintunya hati-hati, ia menatap Grana yang belum ganti baju dari tadi.
"Kecapekan?" tanya Daren, dan diangguki oleh adiknya. "Mandi dulu sebelum tidur, biar seger badannya." Daren melangkah mendekat Grana, dan duduk di samping adik kesayangannya itu.
"Iya Kak," jawab Grana singkat. "Eh, Grana udah boleh hubungin temen-temen?" Ia baru teringat dengan mereka yang berada di Indonesia, karena juga ponselnya matikan.
Kakaknya mengangguk singkat, berarti ia diperbolehkan.
"Tapi kalo kamu benar-benar capek, besok aja kan masih bisa."
Grana langsung menggeleng cepat, sebisa mungkin ia harus cepat mengabari mereka. Ia tak mau membuat mereka kecewa, walaupun ia yakin jika itu tak mungkin. Mereka sudah kecewa, pasti itu.
"Bisa kok kak sekarang, ya?" Daren tersenyum.
"Kakak keluar ya, selamat malam." Grana mengangguk lagi, dengan senyuman di wajah pucat tetapi tetap manis itu.
"Malam Kakak."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Bad Girl [TAMAT]
Fiksi Remaja"Gue mau temenan sama Lo, boleh gak?" ujarnya, membuat Grana tertawa. "Yakin Lo? Gue jahat, gue bukan cewek dan temen yang baik buat Lo! Mending cari temen lain aja!" balas Grana, ia sadar diri ia siapa. - "Kamu!" Satu tamparan keras melayang lagi...