Senyap, atau memang ini sudah menjadi takdirku untuk selalu kehilangan. Separuh kebahagiaan datang, dan kenapa harus kehilangan separuhnya lagi?
Just.Bad.Girl
***
Perasan cowok itu sudah tak karuan, berbagai macam pertanyaan sudah terlintas di kepalanya. Tanpa mengizinkan Nasya untuk bertanya, Leon sudah berlari menuruni anak tangga agar segera sampai di pelaminan, eh parkiran.
Surat yang tadi ia baca seakan-akan menunjukkan bahwa dirinya akan kehilangan gadisnya, apa ia masih pantas menyebut Grana gadisnya?
Mereka sudah putus, tetapi bukan untuk perasaan bukan?
"Leon! Woy, Lo mau ke mana?" Nihil, cowok itu tetap berlari hingga menaiki motornya.
Nasya berdecak, ia harus menghubungi Roy. Sepertinya ini ada yang harus ia tahu, dan ia duga pasti tentang Grana.
"Ck, moga Grana gak apa-apa." Nasya menghela nafas panjang, lalu duduk kembali ke kursi panjang. Ia membuka ponselnya, ternyata ada beberapa kali panggilan tak terjawab dari Grana. "Why? Bikin penasaran aja, Grana kenapa ya?"
Cewek itu bangkit, sembari membawa benda pipih itu di tangannya. Satu kali tekan, ia sudah menelpon nomor Grana. Ia menempelkan benda itu pada telinganya, namun nihil juga. Tak ada jawaban, ia harus hubungin Roy nih.
"Ayo angkat Roy!"
Tidak, ternyata Roy sedang ujian disesi ini. Sudah dipastikan jika ponselnya ditinggal di luar lab komputer, ah dia menyerah.
"Moga Roy gak marah kalo gue ke rumah sakit duluan," ujar Nasya bermonolog, karena pikirannya tak karuan.
Langkah kecilnya menyusuri tangga, dari lantai dua hingga lantai satu. Ia harus naik taksi, karena tadi pagi ia dijemput Roy jadi tak membawa mobil sendiri.
"Setelah gue mikir sambil jalan, keknya gue nunggu Roy aja deh. Wah, iya gue harus kasih tau dia deh sama Rehan Reno." Nasya berputar balik, dan mengarah ke lab komputer tempat ujian.
***
Untuk kali ini, ia benar-benar akan pergi. Bukan untuk selamanya, melainkan membagi jarak dengan orang-orang yang menyayanginya dengan tulus. Entah ini keputusan yang benar atau salah, ia sudah terlanjur memilih ini.
Grana menatap pemandangan bandara yang penuh dengan orang yang lalu-lalang dengan tatapan kosong, tak lama lagi ia sudah berada di negara orang. Tempat yang bukan tempatnya, bukan tempatnya berbagi tawa dengan teman-temannya walaupun tak banyak.
Tangan kekar bersih itu memegang telapak tangan adiknya, memberi kehangatan. Grana menoleh, diberi senyum oleh Daren yang sedang menggandengnya.
"Maaf dan terimakasih Na," ujar Daren, membuat Grana menautkan kedua alisnya. "Maaf karena sudah membuatmu jauh dari orang-orang yang kau sayangi juga sebaliknya, dan makasih sudah mau menemani kakak dan jadi adik yang kuat selama ini." Daren kembali tersenyum, senyumnya tulus.
Grana menggeleng dengan senyum yang terukir jelas, walaupun agak palsu. Eh gimana definisinya?
"Grana juga Kak, maafin ya udah ngerepotin kakak selama ini. Dan makasih udah mau sayang sama Grana, udah mau berjuang demi Grana." Tanpa disuruh, gadis itu memeluk erat tubuh sang kakak.
Ini pemandangan yang mengharukan, mereka yang lewat saja langsung memperhatikan. Mereka seperti sepasang kekasih yang akan berpisah, padahal seorang adik dan kakak yang akan menempuh lembaran baru.
"Udah ih jangan cengeng, udah waktunya cek out." Daren mencubit kedua pipi Grana yang kini semakin gembul, entah karena diinfus makanya semakin gendut. Itu sih kalau kata orang-orang, tetapi mungkin saja Grana sudah bahagia makanya gendutan sekarang.
Jauh dari lubuk hati yang terdalam, Grana masih menginginkan mereka tiba-tiba datang menyusul atau mengantarkan dirinya yang akan pergi jauh.
Tetapi, itu sangat tidak mungkin. Karena dirinya tak memberitahu, apakah mama sama papanya tak akan ke sini?
Tatapan sedih sangat terlihat jelas di mata Grana, tetapi ia berusaha agar terlihat bahagia. Beberapa kali ia menengok ke belakang, tetapi sama saja nihil. Mereka tak mungkin datang, sudahlah.
***
Kring!
Sesi 3 berakhir, ujian ini waktunya cepat sekali. Hanya 70 menit, kalau sekolah lainnya biasanya 120 atau 90 menit dan ini tidak. Biarkan, mungkin gurunya berbaik hati. Ya enggak lah, yang ada muridnya harus ekstra berpikir dua kali lipat.
Rehan, Reno, Kevin dan Roy keluar bersama. Seorang cewek sudah duduk di depan lab, tetapi mereka tak melihatnya. Dengan malas cewek itu memanggil nama Roy.
"Roy?"
Mendengar namanya dipanggil, ia menoleh.
"Bucin nih, dahlah Han ayo pulang duluan!" ejek Reno.
Langsung saja ia dapat tatapan tajam dari Nasya, yang sekarang mengata-ngatai bucin, ada saatnya ia juga akan mengalami yang namanya bucin. Lebih enak versi halal kali ya?
"Jangan langsung balik Tong, Han. Kalo Lo balik duluan aja Kel, atau Vin dahlah yang penting nama Lo salah satunya." Nasya ribet sendiri, sembari membenarkan rambutnya.
Roy berdiri di samping Nasya.
"Ada apa?"
"Leon," ujar Nasya menggantung. Ketiganya menatap cewek itu, menunggu selanjutnya apa yang akan diucapkan. "Dia tiba-tiba lari setelah baca surat dari Grana, gue pikir sih pasti ada sangkut pautnya sama Grana. Apa Grana kenapa-kenapa yah?"
Mereka saling bertatapan sembari mikir, ada benarnya sih ucapan Nasya.
"Perasaan gue tiba-tiba gak enak," Rehan menimpali. "Kita ke rumah sakit kali ya?"
"Boleh, atau hubungin Leon dulu biar lebih jelas." Reno ikut memberi saran. Roy mengangguk, membenarkan atau tanda setuju.
"Gue hubungin ya, eh dia nelpon." Tiba-tiba ponsel Nasya berdering, dan itu nama Leon yang keluar.
"Angkat-angkat!"
Nasya mengangguk, lalu mulai mendengar suara Leon.
"Bandara sekarang, cewek gue udah hampir terbang. Cepetan, sama yang lainnya juga!"
"Hah? Beneran? Terbang ke mana?" Nasya terkejut, membuat cowok-cowok itu ikut terbelalak.
"Cepetan kalo masih mau temen Lo di sini!"
Tut!
Sambungan sudah terputus, cepat-cepat Nasya memberitahu temannya.
"Grana kenapa?" Roy terlihat resah.
"Bandara, kata Leon di bandara." Nasya langsung cemas entah bercampur takut. "Kita ke sana Roy, dia mau terbang."
Mereka mengangguk, tanpa Rehan atau pun Reno bertanya karena keadaan sudah terpepet.
***
Pendek:(
Apa kabar?
Makasih udah mau menjadi pembaca gelap, atau mungkin karyaku kurang menarik. See you next chapter ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Bad Girl [TAMAT]
Teen Fiction"Gue mau temenan sama Lo, boleh gak?" ujarnya, membuat Grana tertawa. "Yakin Lo? Gue jahat, gue bukan cewek dan temen yang baik buat Lo! Mending cari temen lain aja!" balas Grana, ia sadar diri ia siapa. - "Kamu!" Satu tamparan keras melayang lagi...