[7]

407 40 0
                                    

Bahagia atas luka yang ada namun, apakah gue mampu selamanya? - Michel Granata Adisty.

***

Tidak mengusir pulang, karena hatinya begitu kelu harus mengatakan itu. Menawari masuk? Tidak sudi, Grana melakukannya. Alhasil, Leon masih menatapnya yang kini sibuk balik menatap juga.

"Ngapain sih, Lo masih di sini?" sinis Grana, menatap tidak suka kehadiran Leon.

Cowok itu berdehem, tak menganggap pembicaraan Grana tersebut.

"Lo masuk, baru gue pulang!" ujar Leon dengan santainya, membuat Grana menghentakkan kaakinya kesal.

Tanpa basa-basi, Grana masuk dan mengunci gerbang, tak ingin lama-lama terus bersama Leon. Dikhawatirkan akan kecanduan, Grana tak mau itu terjadi.

Setelah Grana masuk, di dekat gerbang. Benar sekali dugaan cewe itu, Gabriel berada di sana tengah menatap mereka tadi.

"Ngapain Lo? Gue gak butuh bantuan cowok Lo kok, Lo kan yang nyuruh?" cetus Grana, menatap intens pada adiknya.

Gabriel menelan ludahnya susah payah, kata-kata Grana selalu menyakiti hatinya. Tetapi ia yakin, sakit hati Grana tak sebanding dengan apa yang ia rasakan. Ia pantas mendapatkan itu dari Grana, cewek itu berhak menyakitinya karena dia telah membuat semuanya berantakan.

"Mau nangis? Masih mending gue males ngebela diri sendiri," ujar Grana lalu masuk, tak peduli dengan Gabriel.

Satu tetes air mata Gabriel mengalir namun, tak ada suara isakan tangis. Ia menatap sendu punggung kecil kakaknya, lalu menoleh pada seseorang di depan gerbang yang kini telah tertutup. Mungkin Leon tak melihatnya, ia harus bisa.

***

"Thanks, Roy! Lo sahabat gue yang paling baik, ntar bawa ke rumah ya. Gue nanti malem mau ke warung," ujar Grana yang sedang bertelepon dengan Roy.

'Oke Na, santai ajalah sama gue juga!' terdengar di sebrang sana, Roy tengah terkekeh kecil. Juga ramainya suara Rehan dan Reno yang samar-samar terdengar.

Panggilan terputus oleh Grana, ia melemparkan kembali ponselnya sembarangan di atas kasur. Ia duduk di dekat jendela, tangannya sibuk memainkan gorden warna grey itu. Tatapannya lurus ke arah luar jendela kaca, ada seseorang yang ia rindukan.

"Dunia ini gak adil, orang lain begitu mudahnya mencari kebahagiaan. Sedangkan gue? Ah, satu-satunya orang yang ngebela gue sedang berjuang, dan nenek? Dia malah pergi duluan," lirih Grana, hampir menangis.

Dia memang sosok yang begitu kuat dan tegar jika dilihat orang lain, mereka tidak pernah berpikir kalau gadis ini bisa menangis. Grana juga manusia biasa, dia lemah. Keadaan dan takdir memaksanya untuk bersandiwara, seakan baik-baik saja. Dia bahkan, sangat lemah.

"Gue bukan pembunuh, tapi percuma gue bela diri sendiri." Grana menghembuskan napas pelan, dadanya terasa sesak. Begitu sakit, sesak dan nyeri. "Semoga setelah kepergian gue, mereka bisa bahagia ... "Jatuhlah air mata Grana, ia selalu menangis saat sendiri. Itulah dirinya yang sebenarnya, di luar sana ia hanya memalsukan keadaan. Hebat, kan dia?

Tok ... Tok ...

Ketukan di pintu kamar Grana, membuat cewek itu segera menghapus air matanya. Siapapun tidak boleh tahu kalau dia lemah, dia kuat di mata orang lain.

"Kak, mama sama papa mau berangkat hari ini!" Suara Gabriel membuat Grana mendengus dingin, buat apa memberitahunya? Toh, mereka tidak butuh dirinya.

"Kak? Kakak di dalem, kan?" Ulang Gabriel, membuat Grana kembali berdecak.

"Butuh gue emang?" Grana membuka kasar knop pintu bercat putih itu, Gabriel menatapnya iba.

"Maaf ganggu Kak, tapi mama sama papa manggil Kakak," ujar Gabriel, dengan lembek.

Just Bad Girl [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang