Mencintaimu adalah inginku
Namun, berpura-pura tuli adalah keinginanmu. - Michel Granata Adisty.***
Hal yang paling cewek tomboi itu tak suka namun, mau bagaimana lagi. Ini juga rumahnya, rumah yang ia tinggali sampai sebesar sekarang. Kadang, dia merasa sebagai anak angkat. Tidak pernah mendapatkan kasih sayang, ia tak mengerti jalan pikir mereka. Ia hanya bisa menjalaninya, dan berharap suatu saat nanti dia akan merasakan bahagia bersama mereka.
Grana berjalan angkuh melewati ruang makan dengan jaket hitam di tubuh, mungilnya itu. Kali ini mungkin akan baik-baik saja, hanya ada Risma yang bertengger di kursi kayu itu. Namun, lirikan elang membuatnya malas melihatnya.
"Grana!" Cewek itu terhenti, memaksakan diri untuk menoleh kepada yang memanggil. Tumben!
"Apa, Ma?" tanya Grana, dengan perasaan yang tak biasa.
Risma menaruh beberapa alat yang ia pegang untuk mengupas makanan tadi ke dapur, dengan sangat amat malas Grana menunggu. Ia lebih memilih berdiri ketimbang harus duduk bersama mereka, ia tak menyukainya.
"Mama sama Papa besok lusa akan pergi ke Jepang, perusahaan yang di sana lagi ada masalah," ujar Risma, dengan kaku.
Grana menaikkan kedua pundaknya, menatap Risma.
"Terus?" Grana acuh.
Risma geram dengan anak satu ini, acuh suka membantah dan tak bisa diatur. Kenapa dia bisa melahirkan seorang anak, yang semacam ini? Bukan kah dia juga seharusnya mengerti, Grana seperti itu karena didikan kalian. Kalau orang tua menuntut seorang anak untuk berperilaku baik, maka anak akan baik. Asalkan, si orang tua mau mencontohkan sikap yang baik pula.
"Kamu jagain Gabriel, dia anak Mama. Jangan biarin dia kelaparan sama suruh dia berdiam diri di rumah saja. Kalau sampai Gabriel kenapa-kenapa, kamu yang akan tanggung jawab. Ingat, penyakit Gabriel!" peringat Risma, benar-benar membuat hati Grana sakit.
Kalau ia mengaku lemah, tak mungkin ia tidak menangis sekarang. Kenapa hanya Gabriel? Dia juga membutuhkan kasih sayang itu, dia juga memiliki penyakit yang lebih parah dari adik kandungnya itu. Kenapa yang diperhatikan hanya Gabriel? Dia juga menginginkan itu, apa dia tidak pantas menerima semua itu?
Grana tersenyum miring, ke pada Risma. Yah, meskipun hatinya sakit tetapi itu tetap mamanya. Ia menghargai pesan dan perasaan mamanya, kalau dia tidak beruntung seperti Gabriel, dia bisa apa?
"Gabriel akan baik-baik aja, Ma. Dia udah gede," balas Grana, dengan berusaha menetralkan emosinya.
Risma menatap anak pertamanya itu dengan tajam, entah Grana dapat dosa apa hingga hidup di tengah-tengah keluarga sendiri yang tak menyukainya.
"Tapi kamu lebih gede, kamu kakaknya. Jangan ngebantah, atau uang bulananmu Mama gak kasih?" tukas Risma, berani.
Dengan santainya Grana menaiki tangga lagi, meninggalkan Risma yang menatapnya dengan tatapan sengit.
"Gak usah kasih uang juga, Grana bisa cari sendiri. Emang dari dulu apa peduli sih?"
Risma membisu, mendengar pertanyaan Grana.
***
Dua orang remaja berseragam sekolah SMA itu baru saja sampai di depan rumah besar bertingkat dua, cat silver yang bikin adem lihatnya.
Gabriel terpaksa ikut ke rumah Leon, karena cowok itu yang mengajaknya. Kata cowok itu, papanya ingin bertemu dengannya. Memang sudah lama ia tidak main ke sini, ia takut.
"Ayok, masuk!" Leon menarik pergelangan tangan cewek berponi di atas alis itu, dengan ragu pun Gabriel melangkah.
Pintu terbuka kala Leon mengetuknya, mamanya pasti di rumah. Walaupun papanya jam segini belum pulang, mungkin Gabriel akan bermain sampai sore.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Bad Girl [TAMAT]
Teen Fiction"Gue mau temenan sama Lo, boleh gak?" ujarnya, membuat Grana tertawa. "Yakin Lo? Gue jahat, gue bukan cewek dan temen yang baik buat Lo! Mending cari temen lain aja!" balas Grana, ia sadar diri ia siapa. - "Kamu!" Satu tamparan keras melayang lagi...