Semakin aku bertahan, semuanya bertolak belakang. Dan kini aku tak tahu lagi harus bagaimana, mungkin memang takdir harus kecewa. Mungkin, ketika aku pergi akan lebih baik. - Michel Granata Adisty.***
Usai diantar pulang oleh Leon, cowok yang memberinya berita duka sekaligus luka baru di hatinya. Grana terduduk di ruang tamu, tatapannya kosong menatap ke depan.
Gabriel, cewek itu menuruni tangga. Matanya tertuju pada sang kakak yang tengah melamun seperti sedang banyak pikiran, dengan segera ia berlari menghampirinya.
"Kak?" Gabriel duduk di dekat Grana, menyentuh pundak rapuh kakaknya itu. "Leon apain kakak?" Gadis mengenakan babydoll ini khawatir.
Grana masih terlihat tegar, hanya kantung matanya terasa kering. Tak mampu menumpahkan air matanya, ia langsung menoleh dan menggeleng pada Gabriel.
"Tapi kenapa kakak kek gini? Gabriel khawatir tau, ngomong dong kak!" Gabriel sebal, kenapa kakaknya malah hanya menggeleng padahal sudah jelas dia sedang tidak baik-baik saja.
"Cukup Gab! Jangan ganggu gue dulu!" Grana langsung berdiri, menepis kasar lengan Gabriel. Dengan napas yang memburu, ia melangkah cepat menaiki tangga. "Lo berisik!"
Gabriel tak mampu berkata-kata lagi, tentu ia terkejut dengan bentakan kakaknya tadi. Mungkin, dengan membiarkan Grana tenang dulu akan lebih baik.
***
Cowok berbadan besar itu melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, tak peduli dengan nyawa dan keselamatannya. Pikirannya sedang kacau, ia bisa merasakan bagaimana rasa sakit itu. Sakit kehilangan dan melepaskan, tetapi ini bukan akhir. Ia akan terus berjuang jika memang masih bisa namun, ia juga akan berhenti saat semuanya sudah tak mungkin lagi.
Leon membanting setirnya kala sampai di depan rumah, matanya mengkilap merah. Mewakili perasaannya yang bercampur aduk, meskipun begitu ia sangat terlihat kuat.
Menatap seorang pria duduk di sofa ruang tengah membaca koran, tak ingin berlama-lama ia langsung lewat begitu saja.
"Bagaimana, sudah kamu putuskan gadis urakan itu?" Satu langkah terhenti, kala Leon akan menaiki tangga. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal.
Selama ini, hidupnya memang terlihat baik. Tetapi tidak dengan keadaan yang sebenarnya, ia merasa terkekang oleh kemauan papanya yang harus dituruti. Karena Doni selalu mengancam akan meminta kembali ginjal yang ada di dalam tubuhnya selama bertahun-tahun ini, ia hanya diam dan menuruti saja.
"Papa puas?" Suara Leon terdengar berat.
Doni langsung membuka lebar matanya, senyumnya tercipta sumringah.
"Bagus, anak Papa nurut juga." Doni menepuk tangannya sekali, lalu berdiri sembari menggeleng-gelengkan kepalanya senang.
"Leon anak Mama," tukas Leon, tegas.
Pria berperut hampir buncit itu langsung melotot, mendengar penuturan anak satu-satunya ini.
"Jaga omongan kamu, Leon!"
"Papa---"
"Arghh ... " Doni tiba-tiba memegang perut bagian kirinya, membuat Leon langsung mendekat.
Bagaimana pun, papanya sudah memberinya separuh nyawa hingga ia hidup sampai sekarang.
"Oke, Leon nurut sama Papa."
Leon membopong tubuh papanya hingga duduk kembali, menyenderkan kepala Doni.
***
Coretan demi coretan sudah tersusun rapi di atas kertas putih yang biasa ia gunakan untuk bercerita, diletakkannya kembali pulpen hitam itu. Tangannya mulai melipat kertas itu menjadi persegi kecil, lalu memasukkannya di dalam amplop berwarna biru muda. Terakhir, ia menyimpannya di atas meja belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Bad Girl [TAMAT]
Teen Fiction"Gue mau temenan sama Lo, boleh gak?" ujarnya, membuat Grana tertawa. "Yakin Lo? Gue jahat, gue bukan cewek dan temen yang baik buat Lo! Mending cari temen lain aja!" balas Grana, ia sadar diri ia siapa. - "Kamu!" Satu tamparan keras melayang lagi...