[40]

321 30 0
                                    

Aku percaya dengan adanya takdir Tuhan, karena memang kini terwujud padaku. Mungkin ini hanya sebagian, tetapi sudah lebih dari cukup. - Michel Granata Adisty.

***

Sudah cukup lama kabar gembira ini ditunggu-tunggu, dan akhirnya memang terjadi juga. Syukurlah, Tuhan sangat baik tidak membiarkan gadis ini pergi. Grana masih bisa bernafas dengan keadaan semakin membaik setelah adanya operasi beberapa Minggu lalu, di ruang serba putih ini ia ditemani saudari kembar juga beberapa kawannya.

"Na, gue pengen cerita banyak banget sama Lo. Tapi ya udah deh besok aja, kasihan Lo masih capek kan lama banget kagak duduk hehe." Rehan dengan asyiknya duduk di atas brankar milik Grana, sembari menatap cewek itu dengan bergurau.

Sementara Grana yang posisinya masih kecapekan juga pasti tubuhnya serasa remuk karena tak ada pergerakan berbulan-bulan bahkan, ia sampai melupakan kejadian terakhir ia sadar.

Cewek dengan kulit masih putih pucat itu berusaha tersenyum menanggapi pembicaraan konyol Rehan, ia duduk bersandar setelah dibantu dokter Agam sama Gabriel tadi.

"Kak, mau makan dulu?" Gabriel menawarinya, tetapi ia menggeleng lembut.

"Jangan ajak ngobrol banyak Han, kakak masih capek ntar dia kelelahan." Gabriel memperingati Rehan agar tak terlalu banyak bicara, namun sama sekali tak digubris olehnya.

Ceklek!

"Grana!!!" Suara cempreng milik Nasya memenuhi ruangan VIP itu, baru saja Grana dipindahkan dari ruang ICU ke ruang rawat ini karena sadar.

Langkah kaki cewek yang dikenal cerewet itu membesar seraya menuju brankar Grana, dengan cepat ia memeluk tubuh temannya yang sudah lama tak bercengkrama.

"Aww!" Merasa kesakitan karena Nasya terlalu memeluknya erat, Grana mendorong tubuh Nasya pelan.

Bukannya merasa bersalah, Nasya malah cengengesan.

"Ya sorry Na, tapi Lo dah sadar kan ini? Ya Alloh gue kangen banget ama elu Na ... huhu cius Na, sampek gak bisa tidur, kurang makan, suka ngelamun gara-gara Lo tau Na." Tak terasa, sembari mengoceh air mata Nasya turun begitu saja tanpa pamit.

Hal itu membuat Grana yang tadinya agak kesal jadi ikut terharu, begitu pula Reno yang langsung ikut memeluk Rehan namun ditolak.

"Aaa baper ... " Reno merangkul pundak Rehan.

"Woy! Takut gue Mak!" Rehan dengan lucu mendorong tubuh besar Reno. Membuat mereka tertawa renyah, termasuk Grana yang tersenyum dalam keadaan berangkulan dengan Nasya.

"Bandelnya dikurangin, dah dewasa Lo Sya." Grana dengan so sweet serta suara lemah lembut mengingatkan Nasya, membuat sahabatnya itu seperti mengenal sosok baru.

Disaat mereka mulai bercanda ria, terlintas dalam pikiran Gabriel mengenai kesalahannya. Ia juga tadi sudah menelpon orangtuanya dan memberitahu jikalau Grana sudah bangun tetapi, ia juga canggung mengingat dulu hubungannya dengan sang kakak.

"Kenapa Gab?" Grana yang awalnya mereka pikir seperti dia yang dahulu, kini dari cara bicaranya saja berubah total. Benar, menjadi lemah lembut dan tatapannya begitu hangat.

Gabriel menoleh padanya, dengan menggeleng pelan.

"Oh ya, sebelum kakak pingsan, kakak masih lihat Abang gak?" Kening Grana mengerut setelah mendengar kata Abang dari mulut Gabriel, memang disaat ia koma sering mendengar penuturan seorang laki-laki yang ia kenal berbicara di dekatnya.

Kemudian Grana terdiam, sembari berpikir. Saat itu, keadaan mulai hampir menegang. Memang tak seharusnya Gabriel menanyakan ini, karena ditakutkan Grana akan ingat kembali tentang perjodohan.

"Kak Daren, Gab?" Gabriel mengangguk pelan, talud dan berhati-hati.

Sebelum Grana menjawabnya, seseorang berjaket hitam masuk ke ruang itu.

***

Mereka langsung beralih dengan seseorang yang masih berdiri tegak mengenakan masker hitam pula, pria itu mengamati Grana yang juga balik menatapnya.

Semuanya diam, karena merasa kenal, Grana semakin menatap pria itu. Untuk Gabriel, dia sudah tahu jika itu adalah Daren.

Yap, itu memanglah Daren, kakak tiri Grana dan Gabriel. Pemuda itu berjalan mendekati adiknya, seorang yang begitu ia sayangi. Sampai di depan Grana, ia membuka maskernya. Karena sudah hampir 6 tahun tak bertemu, membuatnya pangling.

"Kakak?" lirih Grana hampir tak kuasa menahan tangis, orang yang sangat ia rindukan kini ada dihadapannya.

Grep!!

Sebuah pemandangan yang mengharukan bagi mereka yang menyaksikannya, melihat kakak adik berpelukan sangat hangat. Keheningan karena ketenangan tercipta, kerinduan yang kini dilampiaskan.

Nasya terharu sekali, sekalipun Gabriel yang memang ia akui sangat iri melihatnya. Dirinya juga ingin bisa seperti itu dengan Daren namun, sayang sekali dari dulu ia tak pantas mendapatkannya.

"Kakak kapan pulang?" Disela-sela isak tangisnya, Grana bertanya dalam dekapan Daren.

Belaian lembut pada rambut Grana membuat gadis itu semakin nyaman dalam pelukan seorang kakak, Daren begitu menyayanginya.

"Kakak selalu ada di dekat kamu selama ini, sungguh."Daren mencium puncak kepala Grana, dengan sangat lama.

Saat ini, tangisan pun pecah menyelimuti ruangan. Rehan saja sangat terharu, juga seseorang yang berada di luar ruangan. Pemuda berhoodie kuning itu tersenyum tipis, menatap wajah Grana dengan air mata tak sengaja menetes. Setelah puas, ia berlalu untuk menyelesaikan urusannya yang lain.

***

Hari ini, di mana keadaan Grana sangat membaik. Kata dokter muda itu juga penyakit Grana sudah hampir sembuh, tinggal menunggu pemulihan dan pengecekan saja. Daren selalu menemaninya, begitu juga Gabriel. Hubungannya pun baik-baik saja, ia sangat menyadari itu.

Tadi Daren izin ke kantin rumah sakit sebentar, dan Gabriel pulang kembali lai ke sini mungkin nanti sore.

Terlintas di otaknya, seperti ada yah ia lupakan. Ia merenung di atas brankar, bersender dengan menatap jendela luar. Ia mencoba mengingat sesuatu sebelum ia terbaring di sana, ia memang terbiasa sendiri dan diam makanya tak suka bertanya kecuali memang mengharuskannya untuk melakukan itu.

"Kenapa gue bisa masuk rumah sakit?" Satu pertanyaan dari mulutnya sendiri, dan barulah ia ingat mengenai kejadian-kejadian yang ia alami sebelum akhirnya dibawa kemari.

Tiba-tiba kepalanya agak nyeri dan pusing, ia memegangi sisi kanan pelipisnya. Ternyata ia makasih ingat semua kejadian itu, persis.

"Leon?"

Satu nama, empat huruf yang membuat jantungnya tak bisa berjalan normal. Cowok yang namanya masih melekat dalam perasaannya, cinta itu tak mudah dihapuskan. Tak ia undang, air mata menetes lancar.

'Lo jadi pacar gue sekarang juga!'

'Lo gak boleh kenapa-napa!'

'Lo itu cewek lemah gak usah sok kuat!'

'Gue dijodohin.'

Beberapa kata yang pernah Leon ucapkan padanya mulai bergiliran memutari otaknya seperti kaset, ia ingat betul semuanya.

"Leon? Apa dia bener-bener udah tunangan sama Gabriel? Atau tunangan itu batal? Kenapa gue gak bisa lupain Lo?"

Akhirnya tangisan Grana pun menjadi-jadi, ia mengusap wajahnya dengan frustasi. Rasa dalam dada mulai menyembul keluar kembali, ia tak bisa berbohong. Setelah sekian lama mati rasa dalam keadaan setenagh hidup dan mati, ternyata rasa itu masih ada.

"Gimana kabar Lo, Le?"

***

Hihi

Just Bad Girl [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang