Hidup memang pilihan, walaupun banyak menguras energi dan juga hati. Jika berhenti hidup lebih indah, itu mungkin lebih baik buatku. - Michel Granata Adisty.
Dia nyata namun, sangat jauh. - Leon untuk Grana.
***
Cowok yang kini menjadi pusat perhatian oleh hampir seluruh warga sekolah itu, tetap santai berjalan menggelendeng tangan Gabriel di sampingnya.
Hampir mereka-mereka curiga kepada hubungan Leon, karena beberapa bulan lalu cowok itu dekat dengan Grana. Dan sekarang, kembali lagi dengan Gabriel saudaranya sendiri.
"Mau ke mana sih, Le?" Gabriel yang tengah berusaha menyetarakan tubuhnya di samping Leon, sembari mengatur napasnya.
Cowok itu tetap diam, mereka kini sampai di parkiran sekolah. Memang sudah dari tadi bel berbunyi, tetapi masih jarang yang berbondong-bondong menuju parkiran tak seperti biasanya.
"Lo pulang bareng gue," tegas Leon, tanpa menoleh.
'Lo?' Gabriel terdiam, mulai menerka pikirannya.
"Gab, turutin aja kata gue kalau gak mau kecewain kedua orang tua Lo." Leon menepuk sebelah pundak Gabriel, sehingga cewek itu terkejut. "Ayok!" Leon menarik lengan Gabriel kembali.
Tanpa mereka sadari, di pojok sana ada 4 pasang mata yang mengawasi. Mereka masih terdiam di atas motor masing-masing, sampai Leon dan Gabriel sudah berlalu meninggalkan parkiran mengunakan mobil.
"Loh kok Lo enggak sama Leon lagi, Na?"
"Eh Roni, eh salah Reno maksudnya. Lo lagi sadar?" Nasya menyelak, karena ia tahu perasaan Grana sekarang.
Sementara Rehan sibuk menatap mata Grana yang sangat terlihat jujur, terlihat sekali kalau sedang patah dan hancur. Hingga ia tak tega melihatnya, ia tahu dari tatapan cewek itu meskipun Grana tak pernah bercerita sedikitpun tentang privasinya pada orang lain termasuk sahabatnya sendiri.
"Ya kan kita udah lama gak ngumpul, jadi gue ketinggalan informasi Sya." Reno menjawab dengan polosnya.
Nasya mengangguk, lalu naik di boncengan Roy. Dengan pedenya dia, tetapi memang tadi Roy yang mengajaknya pulang bareng.
Leon maupun Gabriel tidak memberitahu sahabatnya mengenai pertunangan itu, karena mereka tak mau ada yang tahu. Jadi, Gerry ataupun Nasya sekali pun tak tahu.
"Ya udah, jadi ngupul ke Bu Anjas kagak?" Grana mulai memakai helm full face-nya, dilanjutkan menyalakan mesin motornya.
"Tapi gue kagak bawa uang, gue cuman ikut deh itung-itung kumpul hehe." Reno membuang kulit cemilannya, lalu ngomong tersebut.
Roy dan Rehan serta Nasya seketika melirik Reno, tahu maksud cowok itu.
"Ngode!!" Mereka bareng, kecuali Grana.
Reno tertawa renyah, tahu saja.
"Gak apa-apa kok Roy, gue bayarin. Lain kali, kalau jajan dibanyakin lagi ya. Biar bokek setiap hari, ngerti?" Grana dengan tersenyum dipaksakan, menatap Reno.
Tetapi, sebenarnya Grana senang kok. Dia seperti ini karena ia tak punya teman, ia selalu sendirian. Makanya, dengan senang hati memberikan apa yang ia punya untuk temannya asalkan temannya itu tidak merasakan seperti apa yang ia rasakan.
"Hehe, baik amat Lo Na. Makin cintah," canda Reno.
"Ada maunya, cinta-cinta. Makan tuh cinta!" Rehan yang gemes langsung melempar dedaunan jatuh pada Reno, tetapi hanya becanda.
"Ya udah ayok, keburu sore!" Suara cempreng khas Nasya mulai menggema, membuat mereka segera menaiki motor masing-masing.
***
![](https://img.wattpad.com/cover/242253464-288-k712033.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Bad Girl [TAMAT]
Teen Fiction"Gue mau temenan sama Lo, boleh gak?" ujarnya, membuat Grana tertawa. "Yakin Lo? Gue jahat, gue bukan cewek dan temen yang baik buat Lo! Mending cari temen lain aja!" balas Grana, ia sadar diri ia siapa. - "Kamu!" Satu tamparan keras melayang lagi...